Catatan seorang ibu, isteri, dan pengemban mabda-Nya

Archive for November, 2011

Dampak Pandangan Feminis Terhadap Peran Ibu

Michael Gorbachev, Presiden Uni Sovyet waktu itu, pernah berkunjung ke Amerika Serikat. Istrinya, Raisa bersama Barbara, istri Presiden Amerika Serikat George Bush Sr. diundang berbicara di sebuah “universitas perempuan terkenal”. Ketika keduanya keduanya berbicara, sekelompok perempuan yang tergabung dalam Women’s Lib meneriakkan yel-yel, bahkan membawa poster, yang mencemooh karena mereka hanya menjadi ibu rumah tangga yang tidak mempunyai karir sendiri. Bahkan beberapa profesor perempuan menolak hadir karena merasa direndahkan bila mendengar pembicara perempuan yang hanya seorang ibu rumah tangga.

Demikian pendapat umum di kalangan feminis yang memandang posisi ibu rumah tangga begitu rendah.[i] Pandangan mereka itu didasari oleh asumsi bahwa perempuan yang berdaya adalah perempuan yang berperan di sektor publik, terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Sebaliknya, perempuan yang tidak berdaya adalah perempuan yang memfokuskan peran di sektor domestik (rumah tangga). Mereka dianggap tidak berdaya karena satu hal saja, yaitu tidak mampu menghasilkan sejumlah materi. Ketidakmampuan wanita dalam hal ini dianggap oleh feminis, akan membuka peluang pria untuk menindas wanita. Untuk itu, wanita pun harus juga bekerja sehingga memiliki kesetaraan dengan suami dalam hal mencari nafkah. Dengan cara itulah, menurut feminis, kesewenang-wenangan laki-laki (dalam hal ini suami) dapat dikendalikan dan pandangan minor tentang kemampuan bekerja wanita dapat dihilangkan.

Dampak Buruk

Bekerjanya seorang istri di luar rumah menimbulkan efek buruk bagi stabilitas keharmonisan keluarga. Baik antara dirinya dengan suami maupun antara dirinya dengan anak-anak. Meskipun dengan bekerjanya seorang istri membuat beban suami menjadi lebih ringan, namun di sisi lain justru akan membuat suami kehilangan harga dirinya dan karena itu keharmonisan pun menjadi memudar. Dalam hal ini, agaknya betul apa yang disampaikan Muhammad bin Luthfi al-Shobbag, bahwasanya hubungan suami-istri bukanlah didasarkan atas materi saja.[ii]

Dengan bekerjanya seorang wanita, perhatiannya kepada anak-anaknya pun akan berkurang. Apabila hal itu terjadi, anak-anak akan merasa bahwa diri mereka tidak lebih penting dari pekerjaan ibunya dan kerenanya ia pun melakukan sejumlah kenakalan—yang bagi mereka—sebenarnya hanya bertujuan untuk memancing perhatian dan kasih sayang ibunya.

Apabila sang ibu tetap tak peduli dan mau memerhatikan anaknya secara lebih—dalam arti tetap dengan kesibukan kerja—maka sang anak akan frustasi dan kenakalan yang dilakukan sang anak akan diupayakan terjadi sesering mungkin.[iii]

Ditambah dengan semakin buruknya hubungan sang ibu dengan suami—sehingga menyebabkan perceraian—maka kondisi anak semakin nestapa karena harapan mendapatkan kasih sayang secara lebih, menjadi pupus akibat berpisahnya ia dengan salah satu orangtuanya. Akibat selanjutnya bisa ditebak: frustasi sang anak akan berubah menjadi depresi.

Psikolog terkenal John Bowlby, meyakini bahwa ikatan antara ibu dan anak yang tidak memberikan rasa aman, tidak adanya cinta dan kasih sayang dalam pengasuhan anak, atau kehilangan salah satu orangtua di masa kanak-kanak, akan menciptakan set kognitif yang negatif.[iv] Kondisi kognitif yang seperti ini ketika bertemu dengan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kehilangan (kasih sayang, teman, guru, dsb), maka kehilangan tersebut akan menjadi pemicu yang dengan segera menimbulkan depresi.[v] Bila sudah begini, maka waspadalah, karena pengalaman membuktikan seringkali remaja yang mengalami depresi akan mencoba bunuh diri.[vi]

Tertolaknya Feminisme

Hancurnya isntitusi keluarga yang dihasilkan dari penerapan feminisme, membuat sebagian kalangan menyalahkan feminisme itu sendiri dan mengajak khalayak untuk kembali kepada konsep keluarga yang harmonis. Di mana di dalam sebuah keluarga terdapat seorang ayah selaku pemimpin dan pencari nafkah, dan ada ibu yang bertugas mengasuh anak dan mengatur rumah tangga. Marijean Hall, ketua Organisasi Parent Action mengatakan, “We have to be able to blend the growth of women and the women’s movement, rather than moving backward in time[vii] (Kita harus mampu memadukan perkembangan wanita dan pergerakannya menjadi sebuah pergerakan keluarga baru, dari pada bergerak ke masa lalu).”

Pernyataan ini barangkali bisa mewakili perasaan orang-orang Barat yang menginginkan perubahan dari kondisi buruk yang ditimbulkan feminisme. Dan tampaknya jumlah mereka mayoritas, sehingga gerakan feminisme di Barat nyaris tinggal wacana.[viii] Kenyatan ini sangat terlihat ketika kita membaca sebuah laporan studi berjudul The Shriver Report: A Woman’s Nation Changes Everything yang dipublikasikan The Center for American Progress dan Maria Shriver akhir 2009 lalu. Di situ terungkap bahwa hampir 86 persen perempuan setuju bahwa hari ini kaum perempuan masih sebagai penanggung jawab utama untuk urusan rumah tangga. Sekitar 85 persen perempuan juga percaya apabila suami dan istri sama-sama memiliki pekerjaan, maka tanggung jawab utama urusan rumah tangga tetap dibebankan kepada perempuan.[ix]

Dari cuplikan data di atas, terlihat jelas bahwa peran wanita sebagai ibu rumah tangga adalah fitrah, sehingga meskipun sudah sekian puluh tahun dicekoki dengan paham feminisme, namun wanita Barat tidak terpengaruh dan malah kini mereka menjadi penentang feminisme itu sendiri.

Penutup

Patricia Aburdene dan John Naisbit, dua penulis terkenal, berkolaborasi menulis sebuah buku berjudul Megatrends for Women, di mana dalam buku tersebut keduanya memasukkan fenomena bangkitnya keluarga sebagai salah satu tren di masa depan. Ulasan lengkap keduanya bisa dilihat pada bab The Family Revival. Dari sini timbul pertanyan menarik: bila wanita Barat saja sudah jenuh dengan feminisme dan ingin kembali kepada sistem keluarga yang harmonis, mengapa sebagian wanita di Indonesia justru terbalik—tertarik dengan feminisme dan merasa harus menerapkannya—bahkan menganggapnya sebagai harga mati? Jawabannya silahkan cari sendiri.

Namun yang harus diingat, sistem keluarga yang diinginkan mayoritas wanita Barat saat ini tentu saja juga tidak akan mampu membawa mereka kepada perbaikan hakiki. Sebab, perbaikan hanya bisa didapat apabila menerapkan Islam secara komprehensif dalam kehidupan. Sebagai ilustrasi, keluarga yang baik saja tidak cukup untuk menghasilkan anak-anak yang bermoral baik. Apabila lingkungannya buruk, tetap saja pendidikan yang didapat sang anak akan tidak berpengaruh maksimal. Sebab terbukti lingkungan pun sangat mempengaruhi moral anak; apakah anak itu baik atau buruk, salah satunya ditentukan lingkungan.

Hal inilah yang tidak bisa dijawab oleh Barat, karena mereka menjadikan akal sebagai hakim—padahal hakim yang hakiki adalah Allah SWT—maka hukum-hukum yang dihasilkan mereka pun menjadi kontradiktif. Maha suci Allah yang telah berfirman:

Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Alquran? Sekiranya Alquran itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.(QS. Al-Nisa [4]: 82).

Oleh karena itu, kebangkitan keluarga saja tidak cukup untuk menghadirkan perubahan yang betul-betul berarti. Menjadikan perempuan berfungsi sebagaimana mestinya masih tidak cukup menjadi solusi bagi permasalahan anak saat ini. Perbaikan dan solusi yang sebenarnya hanya akan didapat dengan satu hal: kembali kepada apa yang dibawa Muhammad saw secara menyeluruh—berupa menerapkan Islam secara kaffah—karena di situlah terdapat perbaikan yang hakiki dan solusi yang sejati. Wallâhu a’lam bi al-shawâb. (Adnan Syafi’i)


Catatan Akhir:

[i] Adnin Armas dan Ahmad Taufik Abdurahman, “Peran Mulia Ibu Rumah Tangga,” Gontor (4/2001): h. 23.

[ii] Muhammad bin Luthfi al-Shobbag, dkk., Pesan untuk Muslimah. Cet. VII. Penerjemah Muhammad Sofwan Jauhari (Jakarta: Gema Insani Press, 1416 H/1996 M), h. 37.

[iii] Arthur T. Jersild, dosen Columbia University menulis, “Perbuatan nakal yang dilakukan berkali-kali merupakan perilaku agresif yang bersumber dari rasa frustasi (Delinquent acts frequently are aggressive acts springing from frustation).” Lihat, Arthur T. Jersild, The Psychology of Adolescence, 2nd ed. Cet. V (New York: The MacMillan Company, 1965), h. 315.

[iv] John W. Santrock, Adolescence: Perkembangan Remaja. Penerjemah Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 529.

[v] Ibid, h. 530.

[vi] Ibid, h. 532.

[vii] Patricia Aburdene dan John Naisbitt, Megatrends for Women (New York: Villard Books, 1992), h. 216.

[viii] Lihat, Syamsuddin Arif, “Feminisme dan Isu Gender,” dalam Nuim Hidayat, ed., Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Cet. II (Jakarta: Gema Insani Press, 1429 H./2008 M.), h. 109.

[ix] “Perjuangan Kesetaran Bergeser,” (SINDO, 29/10/2010): h. 19.

http://dakwahkampus.com/pemikiran/pergaulan/1687-dampak-pandangan-feminis-terhadap-peran-ibu.html#.TtCoR4Dpt10.facebook

Penghalang Menjadi Orang Shalih

Setiap Muslim tentu mendambakan dirinya menjadi orang shalih. Namun, bagi sebagian orang, menjadi orang shalih kadang hanya sebatas keinginan, tidak benar-benar diwujudkan. Kadang, keinginan menjadi orang shalih itu malah kontraproduktif dengan praktik-praktik yang dilakukan. Betapa banyak Muslim yang malah mendatangkan halangan-halangan bagi dirinya untuk menjadi orang yang salih.

Berkaitan dengan ini, Imam Ali  pernah berkata, ”Seandainya tidak ada lima perkara, seluruh manusia tentu menjadi orang-orang shalih. Pertama: Merasa puas dengan kebodohan. Kedua: Terlalu fokus terhadap dunia. Ketiga: Bakhil terhadap harta. Keempat: Riya dalam beramal. Kelima: Membanggakan diri sendiri.” (Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nasha’ih al-’Ibad, hlm. 32).

Inilah lima perkara yang oleh Imam Ali dianggap sebagai ’penghalang’ seseorang untuk menjadi orang shalih.

Terkait dengan yang pertama (merasa puas dengan kebodohan), jelas sikap ini tercela dalam Islam yang nyata-nyata telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Rasulullah SAW bersabda, ”Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim.” (HR Muslim).

Rasul SAW juga bersabda, ”Allah SWT murka terhadap orang yang memiliki ilmu tentang dunia tetapi tidak memiliki ilmu tentang akhirat (agama).” (HR al-Hakim).

Juga sabdanya, ”Dosa orang yang berilmu itu satu, sementara dosa orang bodoh itu dua.” (HR ad-Dailami). Maksudnya, orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya mendapatkan satu dosa. Dengan kata lain, dia gugur dari dosa menuntut ilmu, tetapi tetap berdosa karena tidak mengamalkan ilmunya. Adapun orang yang bodoh mendapatkan dua dosa: dosa karena tidak menuntut ilmu sehingga menjadikan dirinya bodoh dan dosa karena dia tidak beramal. Sebab, bagaimana dia bisa beramal, atau apa yang mau diamalkan, sementara dia tidak berilmu?

Terkait dengan yang kedua (terlalu fokus terhadap dunia), sikap ini pun buruk dalam pandangan Islam. Sebab, Allah SWT telah berfirman (yang artinya): Carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepada kalian (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kalian melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS al-Qashash [28]: 77).

Dalam ayat ini bahkan kebahagiaan akhirat lebih didahulukan daripada kebahagian dunia meski manusia didorong untuk bisa meraih kedua-duanya. Rasul juga bersabda, ”Sebaik-baik kampung dunia adalah bagi orang yang menjadikannya sebagai bekal untuk akhiratnya hingga ia ridha kepada Tuhannya. Seburuk-buruk kampung dunia adalah bagi orang yang terpalingkan olehnya sehingga  berkurang keridhaan kepada Tuhannya.” (HR al-Hakim).

Terkait dengan yang ketiga (bakhil terhadap harta), maka kita tampaknya perlu menyadari kata-kata Imam Ja’far ash-Shadiq. Beliau pernah menyatakan, seorang hamba mesti menyadari bahwa apa yang ada padanya bukan miliknya, tetapi milik ’tuan’-nya, yakni Allah SWT. Segala hal yang ada padanya adalah titipan dari-Nya. Jadi, tak selayaknya dia bakhil terhadap harta, yang juga sesungguhnya merupakan titipan Allah yang kebetulan Dia titipkan kepadanya.

Terkait dengan yang keempat (riya dalam beramal), Rasullullah  bersabda, ”Orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat adalah orang yang berlaku riya di hadapan manusia bahwa ia telah berbuat baik, padahal tak ada kebaikan sedikit pun di dalamnya.” (HR ad-Dailami).

Rasul pun bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan surga atas orang-orang yang berbuat riya.” (HR Abu Nu’aim).

Terakhir, terkait dengan yang kelima (membanggakan diri sendiri),  kita pun sejatinya menyadari, bahwa tak layak manusia membanggakan diri. Sebab, sejak awal manusia diciptakan dari ’air yang hina’. Lebih dari itu, apa yang harus dibanggakan manusia jika semua yang ada padanya, termasuk dirinya sekalipun, adalah milik Allah SWT, Pencipta manusia dan seluruh jagad raya ini? Tentu sangat janggal dan aneh jika manusia berbangga atas apa yang orang lain titipkan kepadanya. Bukankah aneh jika kita berbangga diri hanya karena dititipi rumah (walau rumah mewah) oleh tetangga samping rumah kita yang kebetulan sedang bepergian jauh? Bukankah aneh jika kita harus takjub diri jika teman kita menitipkan mobilnya (meski mobil itu super mahal) kepada kita saat kebetulan dia harus ke luar negeri? Karena itu, tentu aneh pula jika kita berbangga diri, apalagi bersikap sombong, atas apa saja yang telah Allah titipkan kepada kita (anak-istri, rumah, mobil, apartemen, tanah/sawah yang luas, serta harta kekayaan lainnya yang melimpah ruah). Sebab, bukankah semua itu hakikatnya milik Allah SWT, yang kebetulan Dia titipkan kepada kita?

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. [] arief b. iskandar

http://www.mediaumat.com/hikmah/1747-35-penghalang-menjadi-orang-shalih.html

Tawadhu’, Hikmah Yang Hilang Dari Para Penuntut Ilmu

مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat di atas Mizan (timbangan amal di akhirat nanti) dibandingkan akhlaq yang baik” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,  dan beliau menyatakan bahwa Hadits ini Shahih)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy Syu’ara’, 215)

“Dan rendahkanla dirimu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al Hijr, 88)

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan  dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman, 18-19)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujurat, 10-11)

بِحَسْب امرئ من الشر أن يَحْقِرَ أخاه المسلم   – مسلم

“Cukuplah seseorang dianggap melakukan kejahatan (maksiat) manakala ia meremehkan saudaranya.” (HR. Muslim)

إنّ الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا يُنـزع من شيء إلا شَانَه – مسلم

“Sesungguhnya tidaklah sikap lemah lembut ada pada sesuatu kecuali yang memperindahnya, dan tidaklah ia hilang dari sesuatu kecuali akan membuatnya cacat” (HR. Muslim)

مَنْ يُحْرَمِ الرفقَ يُحْرَم الخيرَ كلَّه – مسلم وأحمد

“Barangsiapa yang menolak bersikap lemah lembut, maka Allah  akan jauhkan dirinya dari semua kebaikan.” (HR. Muslim)

MAKA DISEBABKAN RAHMAT DARI ALLAH-LAH KAMU BERLAKU LEMAH LEMBUT TERHADAP MEREKA. SEKIRANYA KAMU BERSIKAP KERAS LAGI BERHATI KASAR, TENTULAH MEREKA MENJAUHKAN DIRI DARI SEKELILINGMU. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imron, 159)

Sudahkah kita menenggang rasa pada teman  kita, memintakan ampun kepada Allah atas kekhilafannya ataukah kita lebih suka menempelkan predikat-predikat “fasik, jahil, bodoh, keras kepala, qaiduun, hanya bisa omong doang” dsb. Bahkan celaan atau stempel yang konsekwensinya sangat berat pun dengan sangat ceroboh sering dilontarkan seolah-oleh mulut ini tidak akan ditanya pertanggung jawabannya di hari kiamat kelak. Padahal seandainya pun kita lebih baik dari teman kita itu, kebaikan itu justru akan hiang karena sikap kita merendahkan saudara kita sesama muslim.

Kita ternyata lebih suka mencari-cari puluhan kekhilafan saudara kita sampai sedetail-detailnya sementara kebaikan nya yang di depan mata justeru tidak pernah terlihat. Padahal Imam Malik -rahimahullah- manakala ada seorang muridnya yang dikabarkan melakukan keburukan atau kekhilafan, beliau akan mencarikan sedikitnya 40 udzur syar’i sebelum menyatakan bahwa dia bersalah atas kekhilafannya.

Atau mari kita lihat contoh dari Salafuna Ash Sholih, Ketika Ibnu Abbas -Radhiyallohu ‘anhuma- (adik sepupu Nabi) sedang melakukan perjalanan bersama dengan Abu Hurairah -Radhiyallohu ‘anhu-, mereka hanya membawa seekor unta. Maka Ibnu Abbas mempersilahkan Abu Hurairah untuk naik di atas untanya, namun Abu Hurairah menolaknya. Serta merta Ibnu Abbas berkata : “Seperti ini Rasul mengajarkan kepada kita, yang muda harus menghormati yang lebih tua”. Maka Abu Hurairah pun terdiam dan beliau naik unta.

Namun hanya beberapa detik di atas unta, beliau tiba-tiba melompat turun seraya berkata : “Wahai anak paman Rasul, engkau yang lebih berhak naik, karena seperti ini Rasul mengajarkan kepadaku, agar kaum mukminin menghormati keluarga dan ahli bayt Rasulullah”. Subhaanallah ……. sebuah keteladanan yang luar biasa.

Tidak usah jauh-jauh, lihatlah Rasulullah Shollallohu ‘alaihi Wasallam yang justeru mencarikan udzur bagi seorang Maiz bin Malik -Radhiyallohu ‘anhu- yang meminta beliau untuk merajamnya karena telah berzina. Sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Muslim, Rasulullah bukannya mencari-cari kesalahan Maiz bin Malik, tetapi justru bertanya kepada shahabat dekat Maiz : “Apakah Maiz telah gila ?”, dijawab oleh sahabatnya : “Tidak ya Rasulullah”. Rasul tidak berhenti mencarikan udzur bagi Maiz : “Cobalah kau dekati Maiz, apakah mulutnya berbau khamr ?”. “Tidak ya Rasulullah”.

Siapakah kita ini yang begitu cepat menudingkan telunjuk kita kepada  orang lain sementara secara fithrah Allah arahkan tiga jari kita yang lain kepada kita.

“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb mu Maha luas ampunan-Nya. Dan dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia lah yang paling Mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm, 32)

Lihatlah teladan betapa tawadhu’nya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam makhluk terbaik dan terpilih

“Dari Aisyah Radhiyallohu ‘Anha beliau berkata : “Rasulullah Shollallohu ‘alaihi Wasallam bersabda : “Suatu hari malaikat turun menemuiku seraya berkata : “Ya Muhammad sesungguhnya Rabb mu menyampaikan salam kepadamudan berfirman kepadamu : “Seandainya engkau mau, Aku akan jadikan engkau seorang Nabi sekaligus hamba (Abdun) atau seorang Nabi sekaligus Raja”. “Maka aku (Rasulullah) menoleh kepada Jibril”. Jibril berkata : “Wahai Muhammad, rendahkan dirimu”. Maka aku menjawab : “Aku ingin menjadi Nabi sekaligus hamba”. Maka kemudian Aisyah Radhiyallohu ‘Anha berkata : “Maka sejak saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak makan sambil menyenderkan badannya”. Beliau bersabda : “AKU AKAN MAKAN SEBAGAIMANA SEORANG HAMBA MAKAN DAN AKU AKAN DUDUK SEBAGAIMANA SEORANG HAMBA DUDUK.” (HR. Abu Ya’la dengan sanad Hasan)

Bahkan dalam memuji pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjelaskan hukumnya :

إياكم والتمادحَ , فإنه الذَّبْح – أحمد وحسّنه الألباني.

“Jauhilah olehmu suka memuji-muji, karena itu sama saja dengan menyembelihnya.” (HR. Ahmad, dinyatakan Shahih oleh Syaikh Al Albany)

Kalau memuji-muji saja ada aturannya, bahkan dilarang Rasul jika berlebihan, bagaimana pula dengan orang yang dengan mudah melecehkan, mengejek, merendahkan bahkan menfitnah dan menghina orang lain ?

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya : Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut ( pailit ) itu ? Maka mereka ( para sahabat ) menjawab : orang yang pailit di antara kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan : orang yang pailit dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakatnya, namun dia datang dan (dahulu di dunianya) dia telah mencela si ini, menuduh (berzina) si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu dan telah memukul orang lain ( dengan tidak hak ), maka si ini diberikan kepadanya kebaikan orang yang membawa banyak pahala ini, dan si itu diberikan sedemikian juga, maka apabila kebaikannya sudah habis sebelum dia melunasi segala dosanya ( kepada orang lain ), maka kesalahan orang yang didzalimi di dunia itu dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke api neraka. (HR. Muslim)

PENUTUP

إِلَهِي لاَ تُعَذِّبْنِي فَإِنِّي مُقِرٌّ باِلَّذِي قَدْ كاَنَ مِنِّي

Ya Rabbi .. janganlah Engkau siksa diriku    Karena aku t’lah mengakui semua dosaku

يَظُنُّ الناَّسُ بِي خَيْراً فَإِنِّي لَشَرُّ الْخَلْقِ لَوْ لَمْ تَعْفُ عَنِّي

Manusia menyangka diriku seorang shalih  padahal akulah seburuk-buruk makhluk-Mu. Jika Engkau tak sudi mengampuniku

فَماَ لِي حِيْلَةٌ إِلاَّ رَجاَئِيْ وَعَفْوَكَ إِنْ عَفَوْتَ وَحُسْنَ ظَنِّي

Tak ada lagi dayaku selain mengharap rahmat dan ampunan-Mu, serta husnudzdzon akan belas kasih-Mu.

Al Abdul Faqiir Ilaa Maghfiroti Robbihiil Qodiir

Abu Izzuddin Al Hazimi

Sya’ban 1432 Min Hijrotil Musthofa  Shollallohu ‘alaihi Wasallam

http://arrahmah.com/read/2011/11/15/16386-tawadhu-hikmah-yang-hilang-dari-para-penuntut-ilmu.html

Merayu Allah Melalui Tasbih, Tahlil, Tahmid & Takbir

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh….

Allah sangat menyukai ucapan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir yang keluar dari bibir hamba-hamba-Nya. Tasbih adalah ekspresi pengkudusan yang mengandung penafian semua kejelekan yang tidak mungkin ada pada Allah yang tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Tahmid merupakan bentuk pujian yang sempurna kepada Allah. Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik doa adalah Alhamdulillah” (HR. Tirmiddzi). Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda, “Alhamdulillah memenuhi Mizan, dan Subhanallah serta al-hamdulillah keduanya memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi” (HR. Muslim).

Sementara “Laa Ilaaha Illa Allah” adalah sebuah deklarasi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah. Dia adalah kalimat tauhid yang merupakan sebaik-baik dzikir kepada Allah. Kalimat ini merupakan bentuk penafian sifat-sifat uluhiyah dari makhluk dan penetapannya atas Allah karena memang Dialah Yang berhak untuk itu semua, Dialah yang pantas untuk menyandangnya, Dialah yang memiliki itu semua. Kewajiban kita hendaknya senantiasa menggemuruhkan kalimat-kalimat agung itu dalam detak jantung kita, mengkristalkannya dalam relung hati kita, melantunkannya lewat bibir-bibir kita, memekarkannya dalam perilaku kita semua dan menancapkannya dalam sujud-sujud kita. Rasulullah pernah bersabda, “Ucapan yang paling Allah sukai itu adalah empat : Subhanallah, al-Hamdulillah, Laa Ilaaha Illa Allah, Allahu Akbar. Tidak ada bahaya darimanapun kamu mulai” (HR. Muslim). Dalam sabdanya yang lain Rasulullah beliau mengatakan, “Bagiku mengucapakan Subhanallah, al-Hamdulillah, Laa Ilaaha Illa Allah, Allahu Akbar lebih aku sukai daripada apa yang disinari mentari”.

Tak ada aktivitas yang akan menenteramkan hati dan melembutkan jiwa selain senantiasa ingat dan berdzikir kepada Allah. Tak ada aktivitas yang melegakan jiwa dan menyejukkan nurani selain dzikir kepada Allah. Karena itulah Allah menyeru kepada kita agar kita senantiasa berdzikir pada-Nya. Karena itu, “Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) –Ku”.(Al-Baqarah : 152).

Dzikir kepada Allah adalah surga Allah di dunia. Dia indah dan penuh pesona, menakjubkan dan menentramkan. Di dalamnya ada bunga-bunga wangi yang bisa dihirup jiwa. Maka barang siapa yang tidak pernah menginjakkan kakinya di surga Allah di dunia dia tidak akan pernah menginjakkan kakinya di surga Allah di akhirat. Dzikir adalah penolong yang melenyapkan kelelahan dan keletihan jiwa dan kehampaan nurani. Dzikir adalah jalan pintas untuk meraih kebahagiaan dan merengkuh kemenangan. Dzikir adalah balsem yang senantiasa memberikan kehangatan ruhani dan sekaligus memberikan kesembuhan jiwa. Dalam dzikir jiwa menjadi terasa dekat dengan Sang Mahakasih, merasa teduh dalam naungan cinta-Nya, hangat dalam dekapan kasih-Nya. Para ahli dzikir akan merasa getaran ilahiyah yang mengalir dalam seluruh organ tubuhnya. Dzikir menyingkirkan awan ketakutan menepiskan kegundahan dan menghadirkan kebahagiaan dan rasa damai. Problema hidup akan ringan terasa. Guncangan jiwa akan luluh sirna.

Dzikir adalah penerang.  Dzikir adalah penyadar dan senjata ampuh pemusnah kesuntukan pikiran, pelenyap tumpukan duka lara. Orang yang berdzikir kepada Allah akan senantiasa bersinar jiwanya, bercahaya tingkah lakunya. Ketenangan batin tersimpan dalam gema dzikir yang bertalu-talu, dalam denting tahmid yang mendayu-dayu. Dalam kalimat tauhid yang menggebu dan dalam tasbih yang bergelora menghangatkan jiwa. Dzikir adalah ibadah jiwa dan lidah yang melintasi semua zaman. Ia harus hadir dalam detik-menit-jam-hari-minggu-bulan-tahun hingga kematian menjemput kita. Berdzikirlah dalam keadaan apa saja : berdiri, duduk ataupun terbaring. Kita wajib mengingat-Nya baik saat berada di daratan, di lautan, di padang pasir, di pasar-pasar, di mall-mall, di hotel-hotel bahkan di udara sekalipun. Dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, dalam gelap dan terang, di gunung-gunung dan lembah-lembah. Dzikir harus senantiasa bergema di seluruh nafas kehidupan kita. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya”.(Al-Ahzaab : 41). “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.(Al-A’raaf : 205).

Dzikir itu makanan jiwa yang harus menjadi konsumsi rutin keseharian kita. Tanpanya jiwa kita akan melemah, semangat kita akan mengendur, cita-cita kita hanya menjadi cita pendek dan rendah. Ada kelezatan dalam dzikir yang tidak dimiliki oleh amal-amalnya lainnya. Cicipi dan rasakanlah. Dzikir adalah penawar racun orang berdosa, sahabat setia orang yang terputus, harta simpanan orang-orang yang bertawakkal, makanan orang-orang yang penuh yakin, hiasan orang-orang yang menyambungkan diri kepada Allah, prinsip orang-orang yang memiliki ma’rifat, hamparan orang-orang yang mendekat dan minuman segar orang-orang yang mencinta. Dzikir adalah energi hidup seorang muslim dan turbin yang menggerakkan jiwa mereka. Ibnu Taimiyah pernah mengatakan kepada muridnya, Ibnul Qayyim tentang dzikir ini : “Ini adalah makananku, jika aku tidak makan maka habislah kekuatanku”. Hasan Al-Bashri memberikan nasehat kepada kita : “Carilah kenikmatan itu dalam tiga perkara : Dalam salat, dalam dzikir, dalam membaca Al-Quran”.

Dzikir akan membuka kelapangan dada kita. Dalam dzikir terdapat makna-makan sabar dan tawakkal, terkandung makna ridha dan menyerah. Hanya dengan mengingat Allah jiwa kita menjadi jernih dan pikiran kita akan menjadi bersih. Dengan dzikir kepada Allah langkah ke depan menjadi pasti. “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Ar-Ra’d : 28).

Kegelisahan yang melanda banyak orang di zaman tak lebih karena mereka telah melalaikan dzikir. Menyedikitkan tasbih, meminilisir tahmid dan mengerdilkan takbir dalam jejak rekam kehidupan mereka. Orang menjadi rakus karena dia tidak tamak untuk berdzikir. Seseorang menjadi berlumur dosa karena dia lupa bertasbih, dia menjadi angkuh karena kalimat tauhid yang dibacanya tidak lagi menggedor kesadaran dirinya bahwa dia hanyalah seorang hamba. Kejahatan para penguasa muncul karena mereka jarang bertabsih, pemelintiran agama hadir di kalangan ulama karena tasbih mereka mungkin mulai tak jujur. Tahmid mereka mulai mengendur. Kecurangan pemimpin bisa saja karena malam mereka tidak pernah berdenyut dengan tasbih dan tahmid, fajar mereka tidak pernah hidup dengan kalimat tauhid. Maka jadilah mata hati mereka semakin legam, jiwa mereka semakin gosong, pandangan nurani mereka menjadi pendek. Padahal ada waktu untuk merayu Allah di saat fajar akan menjelang, di saat manusia-manusia yang tidak bersemangat pada bergelimpangan pulas menikmati malam. Saat itu ucapan cinta kepada Sang Maha Pencinta harus diungkap. Karena cinta kita akan menarik cinta-Nya, rayuan kita akan membangkitkan cinta-Nya. Hidup ini harus kita maknai melalui tasbih, tahlil dan tahmid serta takbir kita yang tiada henti. Sampai mati.

Sudah menjadi kebiasaan, lagi-lagi kebiasaan orang-orang setelah melaksanakan sholat fardhu kelihatan terburu-buru meninggalkan tempat duduknya (apalagi di kota-kota besar, setelah sholat subuh langsung berdiri tanpa dzikir dan tafakur karena dikejar kendaraan atau waktu yang mengkhawirkan akan keadaan macet sehingga terlambat). Padahal dzikir dan tafakur setelah sholat adalah suatu kemuliaan dan sekaligus terapi psikologis bagi seorang muslim atau muslimat. Namun demikian, setidak-tidaknya dapat dilakukan dzikir dan tafakur pada waktu setelah sholat dzuhur untuk dijadikan terapi psikologis bagi seorang muslim atau muslimat. Banyak hadist-hadits yang menerangkan mengenai keutamaan dzikir dan tafakur usai sholat fardlu yang berguna bagi seorang muslim atau muslimat untuk terapi psikologis, menenangkan diri, mengevaluasi diri dan koreksi diri apa yang telah dikerjakan pada waktu sebelumnya.

Dzikir merupakan amalan yang dapat menghapus dosa, karena kita sadari bahwa dosa kita betapa banyak, yang kecil maupun yang besar, yang sengaja atau tidak sengaja. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,  “Hai orang-orang yang beriman, bedzikirlah kepada Allah, dzikir sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya di pagi dan petang hari. Dialah yang memberi rahmat kepadamu, dan para malaikat-Nya memohon ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya terang, dan Dia mengasihi orang-orang beriman” (Al-Ahzab ayat 41-43). Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman untuk senantiasa mengingat Allah dan mengucapkan tasbih sepanjang hari, baik pagi, siang maupun malam hari. Selain itu, agar senantiasa dekat kepada Allah, maka kita perlu berdzikir. Berdzikir, artinya mengingat. Dzikrullah itu tidak ada batas ruang dan waktu untuk mengingat-Nya.

Hendaknya berdzikir dilakukan dengan sungguh-sungguh, lisannya mengucapkan dan hatinya memahami, disertai ikhlas, maka Allah akan memberi rahmat. Adapun rahmat itu luar biasa nilainya, karena merupakan kasih sayang dari Allah. Jika Allah telah melimpahkan kasih sayang-Nya, maka dosa-dosa kita akan diampuni. Apalagi malaikat memohon kepada Allah agar dosa orang yang suka berdzikir dan bertasbih diampuni. Lalu orang tersebut mendapatkan cahaya terang, berupa terbukanya pintu hati untuk menerima hidayah. Hati yang gelap mana mungkin dapat menerima kebenaran, tetapi hati yang sudah terang, bersih dari dosa akan mudah menerima petunjuk dari Allah. Berdzikir dapat dilakukan kapan dan dimana saja. Setelah sholat, di tempat kerja juga kita harus berdzikir namun dilakukan dalam hati dan sebagainya. Setiap saat dan dimana saja, seorang muslim dituntut untuk selalu mengingat Allah. Mengingat Allah dilakukan dengan berdzikir, baik lisan maupun hati. Jika sudah terbiasa, maka hati tidak mudah dirasuki oleh syaitan yang selalu mendorong hawa nafsu untuk melakukan kejahatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang Islam, laki-laki dan perempuan, mukmin laki-laki dan perempuan, orang yang taat laki-laki dan perempuan, orang yang benar laki-laki dan perempuan, orang yang sabar laki-laki dan perempuan, orang yang khusyu’ laki-laki dan perempuan, orang yang puasa laki-laki dan perempuan, orang yang memelihara laki-laki dan perempuan, dan orang yang banyak berdzikir laki-laki dan perempuan, bagi mereka disediakan oleh Allah ampunan dan pahala yang besar” (Al-Ahzab ayat 35).

Menurut Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah mereka yang selalu berdzikir (ingat) kepada Allah, yaitu mereka yang selalu ingat kepada Allah di saat selesai sholat, pada pagi hari dan sore hari, ketika berbaring, bangun tidur, duduk dan berbaring. Jadi dzikir itu luas maknanya, jangan diartikan sebatas wirid saat selesai sholat. Rosulullah menyuruh agar kita selalu berdzikir, baik siang maupun malam hari, ketika hendak tidur, maupun setelah bangun tidur, karena syaitan selalu mendekati manusia, bahkan berada di tengkuk kepala kita.

Masalah dzikir meskipun Allah Subhanau wa Ta’ala telah membentangkan keutamaan-keutamaannya dan menjanjikan hadiah-Nya kebanyakan orang (hampir semuanya) tidak mau melakukan atau mengerjakannya.  Padahal bila melakukan atau mengerjakan suatu dzikir itu mereka dapat merasa aman dan tenteram sebagaimana ditegaskan dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28, “…maka hatipun akan merasa aman dan tenteram”.  Semestinya dengan ayat ini, kita tidak merasa canggung atau ragu-ragu. Penyebab tidak aman dan tenteram berawal dari berduka atau hatinya gelisah, dan terjadinya berduka atau gelisah itu karena ulah otak yang bertentangan dengan hati, sehingga hati tidak tenteram dan terganggu. Contohnya, jika anda berbuat dosa, dan anda tahu bahwa perbuatan yang dilakukan itu berdosa, tahu juga ancamanNya. Selanjutnya secara naluri pikiran anda akan membela diri dan menyangkal (mencari pembenaran) yang bertentangan dengan kata hati.  Hati tetap mengakui hal yang sebenarnya dan hati selalu pada posisi yang benar sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat An-Najm ayat 11, “Hati tiada berdusta apa yang dilihatnya”. Lalu pertanyaannya, bagaimana cara mengatasi untuk mencapai ketenangan dan kedamaian bathin ini? Satu-satunya jalan adalah dengan cara menenangkan diri atau menetralisir anggota tubuh. Dalam ajaran Islam pelaksanaan penenangan diri dan penetralan anggota tubuh dengan “ berdzikir”, bermunajat memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala (waktu yang baik adalah malam hari disaat sepi dan heningnya kehidupan).

Penentuan waktu berdzikir baik dalam al-Qur’an maupun hadist, bisa siang atau malam (tidak secara tepat ditentukan), hanya disebutkan dalam surat Al-Imran ayat 41, “Berdzikirlah kepada Allah pagi dan petang”, selanjutnya dalam surat Ad-Dahr ayat 25, “Dan sebutlah nama Tuhanmu pagi dan petang. Dan di sebagian malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya di malam yang panjang”. Coba tengok surat Qaf ayat 40, “Dan bertasbihlah kepada-Nya dalam sebagian malam dan di akhir sholat”, surat Thaha ayat 130, “Bertasbihlah pada beberapa jam dari malam…”.

Vicky Robbieyanto Dua dalam notenya yang berjudul “Dzikir lagi, Dzikir Lagi, again and again… Lebur Dalam Dzikrullah Semesta Raya-Nya” mengungkapkan,  “Dan orang-orang yang berjihad dalam Kami, sungguh, akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah bersama para Al-Muhsiniin (mereka yang ihsan)” (Q.S. Al-Ankabut [29] : 69). Ayat ini bermakna, bahwa “Mereka yang berjuang melawan hawa nafsunya dan bertaubat sungguh-sungguh hanya demi Kami, pastilah akan Kami tuntun mereka pada jalan-jalan yang menyampaikan mereka pada kebenaran (Al-Haqq). Sesungguhnya tak seorang pun mampu berjuang melawan musuh yang ada di luar dirinya kecuali jika ia pun berjuang melawan musuh-musuh yang ada dalam dirinya. Maka, siapapun yang dianugerahi kemenangan atas apa-apa yang ada di dalam dirinya, ia pasti akan menang atas lawan-lawannya. Dan siapapun yang dikalahkan oleh apa-apa yang ada di dalam dirinya, musuh-musuhnya pun pasti akan mengalahkannya.” (Junaid Al-Baghdadi, 830-910 M). Dzikir mendekatkan kepada Dzat yang kepada-Nya ia berdzikir, sehingga orang yang berdzikir akan disertai oleh-Nya, sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an : “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala beserta orang-orang yang bertaqwa.”. Diterangkan dalam sebuah hadits qudsi : “Aku (Allah) menyertai hamba-Ku selama ia mengingat-Ku.” Penyertaan Allah yang dapat dicapai dengan berdzikir merupakan penyertaan yang tidak ada bandingnya. Hakikat penyertaan itu tidak mungkin dicatat dan tidak mungkin pula dapat dibicarakan. Kelezatannya benar-benar lezat dan arti kata yang sebenarnya, yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang telah mencapainya. ‘Ya Allah, berikanlah kepadaku barang sedikit darinya.’

Berdasarkan nasehat seorang ulama besar Hujjatul Islam Imam Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali dalam kitab “Ihya ‘Ulumuddin” dan “Bidayatul Hidayah” mengenai amalan-amalan dzikir, menganjurkan agar menggunakan setiap kesempatan teruatama setelah sholat ataupun pada malam hari supaya diisi dengan takarrub kepada Dzat Yang Maha Suci yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memanjatkan puja dan puji atas Asma-Nya untuk kepentingan akherat. Semua doa atau dzikir yang diajarkan merupakan penukilan yang diajarkan Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabat-sahabatnya yang dianjurkan dibaca berulang-ulang agar mempengaruhi terhadap ketenangan jiwa. Bahwa yang sedikit dengan dilakukan secara terus menerus adalah lebih baik dan utama serta dapat mempengaruhi hati daripada membaca berulang-ulang yang jumlahnya banyak dan terputus-putus. Hujjatul Islam Imam Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali mengatakan, “Yang sedikit terus menerus itu adalah umpama titik titik air yang menitik ke atas bumi secara terus menerus, lama kelamaan mendatangkan suatu lubang kecil pada bumi. Dan juga bila titik-titik air itu jatuh ke atas batu. Air banyak yang berpisah-pisah dalam waktu yang berjauhan, tidaklah menimbulkan bekas yang nyata. Maka sepuluh inilah kalimat-kalimat yang apabila diulang-ulang tiap-tiap kalimat sepuluh kali, maka jadilah seratus kali. Untuk itu, akan lebih afdhal daripada mengulang-ulangi suatu dzikir seratus kali, karena tiap-tiap kalimat tersebut mempunyai kelebihan atas kesadaran dan kelezatan. Dan bagi jiwa, dalam berpindah dari kalimat ke kalimat mempunyai ketenangan dan keamanan dari kemalasan”.

Dari sekian banyak amalan dzikir dan doa itu haruslah disertai dengan satu kekuatan, yaitu kekuatan “keyakinan”. Langkahkan kaki dan berpijak yang mantap penuh dengan keyakinan atau iman dan takwa serta menghiasi diri dengan desah dan nafas menyebut “Allah”. Dr. Davey John Schwartz dalam buku “Berfikir dan Berjiwa Besar” mengatakan bahwa “Tiada kepercayaan adalah kekuatan negative. Jika hati dan fikiran sangsi dan tidak percaya, maka akan muncul alas an-alasan yang membenarkan keraguan itu. Berfikir ragu, maka anda akan gagal dan berfikir tenang maka anda akan menang. Hal ini karena manusialah yang mempoduksi fikiran-fikirannya sendiri. Liputilah diri anda dengan kepercayaan yang besar, lancarkan offensive-success anda dengan kepercayaan yang jujur dan serius bahwa anda akan berhasil. Percayalah dalam kebesaran, dan tumbuhlah dalam kebesaran”. Adapun kalimat-kalimat yang sepuluh dan masing-masing dibaca atau diwiridkan sebanyak sepuluh kali adalah :

Pertama membaca “Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu yuhyii wa yumiitu wa huwa hayyun laa yamuutu, wa huwa ‘alaa kulli syai’in qodiir” (Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Ia Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Dia yang hidup tiada Mati. Di tangan-Nya kebajikan. Dan Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu).

Kedua membaca “Subhaanallaahi wal hamdu lillaahi wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, wa laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhim” (Maha Suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar dan tiada daya upaya, dan tiada kekuatan melainkan dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung)

Ketiga membaca “Subbuuhun qudduusun robbul malaa’ikati war ruuh” (Allah Maha Suci, Maha Quddus, Tuhan bagi segala Malaikat dan nyawa).

Keempat membaca “Subhaanallaahil ‘azhiimi wa bihamdih” (Maha Suci Allah Yang Maha Agung dan dengan pujian kepada-Nya).

Kelima membaca “Astaghfirullaahal ‘azhiim, al ladzii laa illaaha illaa huwal hayyul qoyyuumu wa as’aluhut taubah” (Aku minta ampun pada Allah Yang Maha Agung, yang tiada disembah selain Dia, Yang Hidup, Yang berdiri sendiri dan bermohon taubat kepada-Nya).

Keenam membaca “Allaahumma laa maani’a lima a’thoita, wa laa mu’thiya lima mana’ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jadd” (Wahai Allah Tuhanku ! Tiada yang melarang akan apa yang Engkau berikan, tiada yang memberi akan apa yang Engkau larang. Dan tiada bermanfa’at orang yang mempunyai kesungguhan daripada Engkau oleh kesungguhannya).

Ketujuh membaca “Laa ilaaha illallaahul malikul haqqul mubiin” (Tiada yang disembah, selain Allah, yang menguasai yang Maha Benar, yang Maha menjelaskan segala sesuatu).

Kedelapan membaca “Bismillaahil ladzii laa yadhurru ma’asmihi syai’un fir ardhi wa laa fis samaa’I wa huwas samii’ul ‘aliim” (Dengan nama Allah yang tiada memberi kemelaratan sesuatu atas nama-Nya, di bumi dan di langit. Dan Dia Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui).

Kesembilan membaca “Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad, ‘abdika wa nabiyyika wa rosuulikan nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa ‘aalihii wa shohbihii wa sallim” (Wahai Allah Tuhanku ! Anugerahilah rahmat dan kesejahteraan kepada Muhammad, hamba-Mu dan Rosul-Mu, Nabi yang ummi (tidak tahu tulis-baca), kepada kaum keluarganya dan sahabat-sahabatnya).

Kesepuluh membaca “A’uudzu billaahis samii’il ‘aliimi minasy syaithoonir rojiimi robbii. A’uudzu bika min hamazaatisy syayaathiini, wa a’uudzu bika robbii an yahdhuruun” (Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui daripada syaitan yang terkutuk. Wahai Tuhanku ! Aku berlindung dengan Engkau dari gangguan-gangguan syaitan. Dan aku berlindung dengan Engkau, wahai Tuhanku! Daripada syaitan-syaitan itu dating kepadaku).

Apabila anda merasakan atau melihat bahwa doa atau dzikir anda makbul (dikabulkan Allah), maka ucapkanlah “Alhamdu lillaahil ladzii bi’izzatihi wa jalaalihi tatimmush shoolihaat” (Segala puji bagi Allah, dimana dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, sempurnalah segala yang baik-baik).

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar memohon doa, dan doa yang dimohonkan dilakukan dengan ikhlas. Syarat  utama terkabulnya suatu doa adalah keikhlasan, keyakinan yang bulat dan kesucian hati serta kesucian hidup. Jangan hanya mulut saja yang “kumat-kamit” memohon doa, tapi hati dan jiwanya sama sekali tidak menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Doa itu erat sekali hubungannya dengan keyakinan, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, “Apabila kamu meminta kapada Allah, berdoalah dalam keadaan bahwa kamu yakin sepenuhnya akan permohonan itu dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengabulkan doa seorang hamba yang hatinya membelakang dan goncang”. Selain itu, faktor kesucian hidup memegang peranan yang penting, sebagaimana sebuah hadist yang menyatakan bahwa “Salah seorang sahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama Sa’ad bin Abi Waqash pernah bertanya kepada Beliau….apakah syarat-syaratnya supaya doa yang kumohonkan dikabulkan Allah Subhanahu wa Ta’ala?. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Makanlah dari harta yang halal, niscaya permohonanmu akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala”.

Setiap doa haruslah disertai dengan ikhtiar dan perjuangan. Usaha-usaha yang bersifat fisik (perjuangan dan ikhtiar) harus dirangkaikan dengan kekuatan-kekuatan yang berbentuk doa itu. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri masih memerlukan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, apalagi kita sebagai manusia biasa.Lebih-lebih dalam kehidupan manusia ini, bagaimanapun kuatnya, pintarnya, kuasanya dan kelebihan-kelebihan lainnya, pada suatu ketika akan menemukan saat-saat kesulitan atau situasi yang tidak dapat diatasinya, dan sudah menjadi naluri manusia akan memohonkan doa meminta pertolongan kepada Kekuasaan yang lebih tinggi (Allah Subhanahu wa Ta’ala). Doa adalah ibadah dan saripati agama sekaligus senjata bagi seorang mukmin. Rosulullah menganjurkan dalam sebuah sabdanya agar kita berdoa dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menyangkut segala kebutuhan kita, termasuk diantaranya kebutuhan akan pasangan hidup dan kebutuhan akan pernikahan yang penuh berkah. “Hendaklah salah seorang dari kalian memohon kepada Rabb-nya menyangkut semua kebutuhanya sehingga ia pun hendaknya memohon menyangkut tali sandalnya apabila putus” (HR Thabrani dan Tirmidzi). Quraisy Syihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an tentang Doa dan Dzikir” mengungkapkan bahwa doa dan dzikir itu berhubungan erat. Doa merupakan bagian dari dzikir. Doa adalah permohonan. Dan, setiap dzikir, kendati dalam redaksinya tidak terdapat permohonan, tetapi kerendahan hati dan rasa memerlukan Allah yang selalu menghiasi ahli dzikir menjadikan dzikir mengandung doa.

Jika anda mengharap cinta Ilahi dan cinta orang-orang yang mencintai-Nya, anda dapat membaca doa, “Allaahumma innii as’aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka wa amalal ladzi yubballighuni hubbaka. Allaahummaj’al hubbaka ahabba ilayya min nafsii wa ahlii wa minal ma’il baarid” (Ya Allah, aku memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu, dan amal yang dapat menggapai cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cintaku kepada diriku sendiri, keluargaku, dan air yang dingin) (HR Tirmidzi). Jika anda mendambakan kasih sayang Ilahi dan anda ingin mencurahkan rasa kasih sayang anda kepada pasangan anda dan orang lain, bacalah dzikir, “Yaa rohmaanu yaa rohiimu” (Wahai Yang Maha Pengasih, Wahai Yang Maha Penyayang). Bila anda ingin terhindar dari kegelisahan dan kedukaan akibat belum bertemu dengan jodohnya atau sulit mendapatkan jodoh, padahal anda sudah berupaya maksimal dengan ikhtiar, anda dapat mengadu dan menyeru Allah dengan dzikir yang mengandung tahlil dan tasbih, “Laa ilaaha illa anta subhaanaka innii kuntu minzh-zhaalimiina” (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim). Bacaan ini adalah bacaan Nabi Yunus ketika beliau ditelan ikan dan berada di perut ikan dalam keadaan gelap gulita. “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap (dalam perut ikan, di dalam laut, dan di malam hari), “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya akau adalah termasuk orang-orang yang zhalim” (Al-Anbiya ayat 87).

Demikianlah yang dapat ditambahkan note dari saudara Latief Mutliek, semoga Allah meluruskan perjalanan kita semua dengan taufik-Nya dan menunjukkan kita kepada kebenaran dan meyakini kebenaran itu dengan nikmat, keluasan,kemurahan dan karunia-Nya….amiin. Bilahit taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh  (MM 19042011)

http://www.facebook.com/notes/i-love-allah-swt-and-prophet-muhammad-saw/merayu-allah-melalui-tasbih-tahmid-tahlil-dan-takbir/208977979119882