Catatan seorang ibu, isteri, dan pengemban mabda-Nya

Sebuah toko yang menjual suami baru saja dibuka di kota Hongkong. Di toko tersebut, para wanita dapat memilih suami sesuai kriteria yang diinginkannya. Di kaca pintu masuk terdapat instruksi sebagai berikut :

“Kamu hanya dapat mengunjungi toko ini hanya SATU KALI”
Toko ini terdiri dari enam lantai, dan tiap lantai menggambarkan sekelompok calon suami dengan kriteria tertentu. Secara umum, semakin tinggi lantainya, maka akan ditemui sekelompok calon suami dengan spesifikasi yang semakin tinggi pula.

Bila pengunjung tidak menemukan suami pada satu lantai tertentu, dia dapat naik ke lantai berikutnya, tapi tidak dapat turun ke lantai sebelumnya. Bila pengunjung sudah memilih suami pada lantai tertentu, maka dia tidak dapat turun atau pun naik. Dia hanya dapat keluar toko melalui pintu keluar yang ada di tiap lantai.

Alkisah, seorang wanita berkunjung ke toko Suami itu dengan maksud untuk mencari suami.

Di lantai pertama, dia melihat tulisan : “Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan dan taat beribadah pada Tuhan.”

Wanita ini, tersenyum dan langsung naik ke lantai dua.

Dilantai dua, dia melihat tulisan : “Lelaki di lantai ini, memiliki pekerjaan, taat beribadah pada Tuhan, dan senang dengan anak kecil.” Kembali, wanita ini tersenyum, namun tetap tidak berhenti, dan langsung naik ke lantai selanjutnya.

Di lantai tiga, dia melihat tulisan, “Lelaki di lantai ini, memiliki pekerjaan, taat beribadah kepada Tuhan, senang dengan anak kecil, dan cakep sekali.” “Wow…” Wanita ini mulai tertarik untuk melihat lihat lelaki di lantai tiga. Namun, didorong oleh rasa penasaran akan lelaki di lantai empat, maka ia pun mengurungkan niatnya, dan bergegas naik ke lantai berikutnya.

Di lantai empat, dia melihat tulisan, “Lelaki di lantai ini, memiliki pekerjaan, taat beribadah kepada Tuhan, senang anak kecil, cakep sekali, dan pandai membantu pekerjaan rumah.”

“Ya ampun !” Dia berseru, “Aku hampir tak percaya” Wanita ini semakin penasaran dengan lelaki yang akan ditemuinya di lantai berikutnya. Maka, Ia pun segera berlalu menuju lantai lima.

Di lantai lima : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat beribadah kepada Tuhan, senang anak kecil, cakep sekali, suka membantu pekerjaan rumah, dan romantis.

Sesaat wanita ini, tergoda untuk berhenti di lantai lima, dan segera memilih lelaki yang ada untuk menjadi suaminya. Namun, sekali lagi, rasa penasaran akan lelaki di lantai berikutnya telah mengubah niatnya. Ia pun berlalu, dan melangkah ke lantai enam.

Di lantai enam, wanita ini melihat tulisan seperti ini :
“Selamat, Anda adalah pengunjung yang ke-7.353.711. Tidak ada lelaki di lantai ini. Lantai ini menjadi saksi atas wanita yang tidak pernah merasa puas. Terimakasih, telah belanja di Toko Suami. Semoga hari ini sangat menyenangkan untuk Anda.” [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]

Sumber : “Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi”

Tanya :

Ustadz, bagaimana hukumnya suami menjatuhkan talak dalam keadaan marah? Apakah jatuh talaknya?

Jawab :

Menurut Wahbah Zuhaili marah (ghadhab) ada dua. Pertama, marah biasa yang tak sampai menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga orang masih menyadari ucapan atau tindakannya. Kedua, marah yang sangat yang menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga seseorang tak menyadari lagi ucapan atau tindakannya, atau marah sedemikian rupa sehingga orang mengalami kekacauan dalam ucapan dan tindakannya. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343).

Para fuqaha sepakat jika suami menjatuhkan talak dalam keadaan marah yang sangat (kategori kedua), talaknya tidak jatuh. Sebab ia dianggap bukan mukallaf karena hilang akalnya (za`il al-aql), seperti orang tidur atau gila yang ucapannya tak bernilai hukum. Dalilnya sabda Nabi SAW,“Diangkat pena (taklif) dari umatku tiga golongan : anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga waras.” (HR Abu Dawud no 4398). (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, 5/215; Sayyid Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, 4/5; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 29/9).

Namun fuqaha berbeda pendapat mengenai talak yang diucapkan dalam keadaan marah biasa (thalaq al-ghadbaan). Pertama, menurut ulama mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Hambali talak seperti itu tak jatuh. Kedua, menurut ulama mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi’i, talaknya jatuh. (Hani Abdullah Jubair, Thalaq al-Mukrah wa al-Ghadbaan, hal. 19; Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahfan fi Hukm Thalaq al-Ghadban, hal. 61).

Pendapat pertama antara lain berdalil dengan hadits ‘A`isyah RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Tak ada talak dan pembebasan budak dalam keadaan marah (laa thalaqa wa laa ‘ataqa fi ighlaq).” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah). (Musthofa Al-‘Adawi, Ahkam Al-Thalaq fi al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 61).

Pendapat kedua antara lain berdalil dengan riwayat Mujahid, bahwa Ibnu Abbas RA didatangi seorang lelaki yang berkata,”Saya telah menjatuhkan talak tiga kali pada isteriku dalam keadaan marah.” Ibnu Abbas menjawab,”Aku tak bisa menghalalkan untukmu apa yang diharamkan Allah. Kamu telah mendurhakai Allah dan isterimu telah haram bagimu.” (HR Daruquthni, 4/34). (Hani Abdullah Jubair, Thalaq al-Mukrah wa al-Ghadbaan, hal. 24).

Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua, yakni talak oleh suami dalam keadaan marah tetap jatuh talaknya. Alasannya, hadits ‘A`isyah RA meski menyebut talak orang yang marah tak jatuh, tapi yang dimaksud sebenarnya bukan sekedar marah (marah biasa), melainkan marah yang sangat. Imam Syaukani menukilkan perkataan Ibnu Sayyid, bahwa kalau marah dalam hadits itu diartikan marah biasa, tentu tidak tepat. Sebab mana ada suami yang menjatuhkan talak tanpa marah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1335).

Kesimpulannya, suami yang menjatuhkan talak dalam keadaan marah dianggap tetap jatuh talaknya. Sebab kondisi marah tidak mempengaruhi keabsahan tasharruf (tindakan hukum) yang dilakukannya, termasuk mengucapkan talak. Kecuali jika kemarahannya mencapai derajat marah yang sangat, maka talaknya tidak jatuh. Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 12 Nopember 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

*Konsultasi.wordpress.com

Al-Qur’an dan As-Sunnah memberi perhatian yang sangat besar terhadap lidah dan ucapan. Ini terlihat dari pesan-pesannya yang menganjurkan agar menggunakannya dalam segala bentuk kebaikan dan memperingatkan agar tidak menggunakannya dalam segala macam kejahatan. Allah SWT menerangkan urgensi kata-kata yang diucapkan oleh manusia dalam firman-Nya :

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌۭ
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. (Qaaf : 18)

ALLAH juga memperingatkan agar manusia berhati-hati menggunakan lisan dalam hal-hal yang tidak diketahuinya, ALLAH SWT berfirman:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُۥ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِۦ عِلْمٌۭ وَتَحْسَبُونَهُۥ هَيِّنًۭا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٌۭ
(ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi ALLAH adalah besar. (An nuur : 15)

Selain itu ALLAH juga menjelaskan beberapa jalan kebaikan yang harus ditempuh oleh lisan dalam firman-Nya :

۞ لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍۢ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًۭا

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (An nisaa’ :114)

Mengingat kedudukan ucapan di dalam Islam begitu tinggi, penting, dan cakupannya sangat luas, Rasulullah saw. menjelaskannya dalam sebuah hadits yang diriwayat¬can oleh Abu Hurairah r.a. (dalam kitab ash-Shahiihain) -ahwa Ras.ulullah saw. Bersabda:

إنّ الرّجل ليتكلّم بلكلمة مايتبيّن فيها يزلّ بها في الناّرأبعدمابين المشرق والمغرب

“Seseorang berbicara dengan suatu kalimat tanpa disertai kejelasan (bukti)oleh karena ucapannya itu, ia jatuh ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh dari jarak timur dan barat. “

Diriwayatkan oleh Bukhari no. 6477, kitab ar-raqaaq, Bab hifdzil lisaan dan Muslim no. 2988 kitab zuhud, bab takallum bil kalimah yahwii bihaa fin naar.

Saudaraku, coba simak dan renungkan kembali pernyataan Rasulullah saw., “Berbicara dengan suatu kalimat tanpa disertai kejelasan (bukti).” Dari sini, engkau tahu besarnya nikmat lisan dan kewajiban menjaga dan memeliharanya, sehingga hanya mengucapkan yang benar. Jika tidak ada yang perlu diucapkan hendaknya diam, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits shahih :

من كان يؤمن با الله واليوم الاخر فليقل خير أوليصمت

“Barangsiapa yang beriman kepada ALLAH dan hari akhir,hendaknya berbicara yang baik atau diam. ”
(HR Bukhari no. hadits 6135. Kitab al-adab bab ikraamidh- dhaif wa khidmatih dan Muslim, vol. 1 hlm. 69, no. hadits 48 Kitab al-iimaan, Baab al-hats ‘ala ikraamil jaar wadh dhaif.)

Imam Ahmad dan para penyusun kitab as-Sunan meriwayatkan sebuah hadits panjang bahwa Mu’adz bin Jabal menemui Nabi saw. dan berkata,

“Tunjukkan kepadaku suatu perbuatan yang akan membuatku masuk surga.” Rasulullah SAW menjawab, “…Engkau harus menjaga ini sambil menunjuk ke arah lidahnya.” Mu’adz mengulangi lagi pertanyaan yang sama, maka Rasulullah saw. bersabda, “Celaka engkau Mu’adz, bukankah manusia itu tersungkur di dalam neraka hanya karena akibat dari ucapan mereka. Tirmidzi berkata, “Hadits ini adalah hadits hasan shahih.

Diriwayatkan oleh Ahmad, vol. 5 him. 231, 236 dan 237, Tirmidzi, vol. 5 hlm. 13, no. hadits 2616. Kitaab al-iimaan, Baab maa jaa’a fii hurmatis shalaah, dan Ibnu Majah, vol. 2 him. 1315, no. hadits 3973. Iiitaab al-fitan, Bab kaffil lisaan fil fitnah

Generasi salafus saleh rahimahumullah, sangat mengerti besarnya arti dan urgensi anggota tubuh yang satu ini, sehingga mereka menjaganya dengan baik dan sangat thawatir bila ia akan menjerumuskan mereka pada kebinasaan.

Pada suatu saat, Abu Bakar r.a. memegang lidahnya seraya berkata, “Inilah yang bisa menjerumuskanku ke dalam malapetaka.”

Ibnu Abbas r.a. juga pernah menarik lidahnya seraya berkata, “Awas! Katakanlah yang baik niscaya engkau beruntung dan diamlah dari yang buruk niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah engkau akan menyesal.” mendengar pernyataan ini, ada yang bertanya, “Hai Ibnu Ibbas, kenapa engkau berkata begitu?” Ibnu Abbas menjawab, “Aku mendapat berita bahwa pada hari kiamat tidak ada satu anggota tubuh yang lebih menyesakkan dan membuat marah manusia daripada lidahnya, kecuali bagi orang yang mengatakan kebaikan atau mendiktekan kebaikan.”

Umar ibnul Khaththab r.a. berkata, “Barangsiapa banyak berbicara, maka banyak kesalahannya; barangsiapa banyak kesalahan, maka banyak dosanya, barangsiapa banyak dosa, maka neraka adalah tempat yang lebih pantas untuknya.”

Hasan al-Bashri berkata, “Lidah adalah pemimpin badan. Jika dia menganiaya anggotanya sekecil apapun maka seluruh anggotanya berdosa, dan jika menjaganya maka seluruh anggotanya juga terjaga.”

Seyogianya kita meneladani sikap generasi salaf seperti diterangkan di atas dalam menjaga lisan, sehingga memperhitungkan ucapan dengan cermat dan jika keluar dari mulut, maka benar-benar pada tempatnya.

Adakalanya manusia menyesal karena diam, tapi penyesalan akan lebih besar jika dia mengucapkan sesuatu yang merugikan, seperti berbicara tentang kebatilan dan ucapan yang sia-sia seperti prosa berikut ini

“Pertimbangkanlah ucapanmu saat bicara
Dan jangan jadi orang yang banyak bicara

Mungkin engkau akan menyesal satu kali karena diam
Tapi karena bicara engkau akan berkali-kali menyesal”

Oleh sebab itu, ALLAH swt. melarang manusia agar tidak berbicara tentang kebatilan dalam segala bentuknya. Berada di urutan pertama ucapan yang tidak berguna ini adalah ucapan yang mengandung unsur mempermainkan ALLAH swt., atau Rasulullah saw., atau agama dan ajaran-ajarannya. Atau, orang-orang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, terutama para ulama dan da’i. ALLAH swt. menerangkan ciri-ciri orang-orang kafir yang mempermainkan agama dan penganutnya yang taat dalam firman-Nya :

64.Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya).” Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu.
65. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang .apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
66. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.
(attaubah:64-66)

Contoh ucapan batil yang tidak berguna lainnya adalah mempermainkan dan mengejek manusia, mencoreng kehormatan, membeberkan kejelekan orang lain (tanpa sebab syar’i) dan mengadu domba, melontarkan kata-kata kotor, menipu dan berbohong, mencaci dan memaki, menyebarkan ungkapan porno, mencari-cari kesalahan dan membicarakannya dengan tanpa beban, dan mencela kekurangan dalam hal pisik maupun akhlak. Semua itu merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Sekali lidah jatuh ke dalamnya, maka ia akan binasa. Diriwayatkan dalam kitab Musnad Imam Ahmad rahimahullah bahwa Rasulullah saw. bersabda :

“Jangan sakiti hamba-hamba ALLAH. Jangan permalukan mereka dan jangan mencari-cari aib mereka, karena sesungguhnya, barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya, maka ALLAH akan mencari aibnya, lalu membongkarnya di dalam rumahnya sendiri”.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad, vol. 5 hlm. 279

Semoga ALLAH mengasihi orang yang mengatakan bait puisi berikut ini:

“Jagalah lidahmu agar tidak menyebut aib seseorang.
Karena dirimu penuh dengan aib dan semua manusia punya lidah

Jika matamu melihat kesalahan-kesalahan orang lain.
Jagalah dan katakan, ‘Hai mata, semua orang juga punya mata

Salah satu tanda keberuntungan dan kesempurnaan seorang muslim adalah mampu menggunakan alat yang sensitif ini dengan baik dan mengucapkan kata-kata yang bermanfaat untuk kebaikan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta berguna untuk agama. Jika kita cermati dakwah kepada kebaikan, mendamaikan antara dua pihak yang bertikai, memberi bimbingan untuk melakukan hal-hal yang terpuji, mengarahkan masyarakat kepada aktivitas-aktivitas yang bermanfaat, memberi nasihat, dan meluruskan perilaku kaum muslimin, maka kita dapat melakukannya, baik dengan ucapan verbal, maupun melalui tulisan, program radio, dan surat kabar. ALLAH swt. berfirman:

33. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushsilat:33)

Bila kau cermati kondisi nyata kebanyakan orang yangq ada di sekeliling kita, engkau akan terkejut dengan begitu banyaknya penggunaan lisan dalam pembicaraan yang tidak berguna. Apakah engkau tidak merasa ngeri melihat banyaknya cerita yang diterbitkan? Tidakkah engkau merasa takut akan perbincangan yang disebarkan melalui radio dan surat kabar, serta obrolan dalam sekian banyak kesempatan yang sarat dengan ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), adu domba, percekcokan dan perpecahan, mencari-cari kelemahan dan kepura-puraan yang kasat mata? Apakah kamu tidak takut akan berbagai bentuk pembicaraan haram dan terlarang lainnya?

Apakah orang yang menulis suatu ungkapan tidak pernah merasa takut, bila tulisannya akan menyesatkan sekian banyak manusia, baik yang ditulis dalam buku, surat kabar, majalah maupun media lainnya ? Apakah orang yang menghadiri suatu pertemuan tidak merasa jerih saat lidahnya mencoreng kehomatan fulan atau fulan (gosip)? Apalagi jika yang tercoreng seorang ulama dan orang sholeh ???

Apakah orang-orang tidak takut lagi untuk menipu, memberi kesaksian palsu dan berbohong? Apakah orang-orang seperti itu dan lainnya, tidak pernah takut jika kata-kata yang terlontar dari lidahnya akan menjerumuskan mereka ke dasar neraka yang jaraknya ditempuh dalam 70 tahun? Seharusnya, mereka merenungkan firman ALLAH ‘Azza wa Jalla berikut ini.

18. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.

Saudaraku kaum muslimin, sungguh, merupakan kerugian yang sangat besar jika manusia tidak dapat menggunakan lidah untuk mendukungnya melakukan ketaatan kepada ALLAH, mengerjakan sekian banyak kebaikan, meraih pahala, dan meningkatkan derajatnya di sisi ALLAH.

Semoga ALLAH swt. menjadikan kita termasuk orang-orang yang semua anggota tubuhnya memberikan kesaksian baik pada hari kiamat dan tidak memberi kesaksian buruk. Saya juga memohon kepada ALLAH agar kita diberi keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan, mendapat ampunan, diberi kesehatan, dan keselamatan yang kekal di dunia dan akhirat. Sesungguhnya, ALLAH Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan, dan hanya Kepada-Nya kita memohon pertolongan.[khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]

( Dikutip dari Tulisan Dr. Falih bin Muhammad ah-shugair)

“Undzur maa qoola walaa tandzur man qoola”

Lihatlah apa yang dikatakan, tapi jangan lihat siapa yang mengatakan.

Kalimat ini saat ini sepertinya masih belum populer dimasyarakat kita, Masih banyak sekali masyarakat mau mendengarkan nasehat dari orang-orang yang “dianggap” memiliki populeritas publik. Padahal ini masih sangat rentan terhadap “penyakit Kecewa”.

Ketika ada tausiah yang dibawakan orang populer, banyak masyarakat berbondong-bondong untuk menghadiri. Tapi ketika ada ajakan tausiah yang dibawakan oleh ustadz kampung yang kalau dilihat dari segi Ilmu dan pengalamannya lebih tebel, yang datang sedikit. Kenapa???
Disinilah peran kita sebagai pemuda harus banyak mempertebal ilmu Dienul Islam dan membedah qur’an dan hadist secara kaffah. Serta menyebarkan kepenjuru dunia bahwa islam adalah mudah.

Kenapa?, Karena prihal ini sangat rentan, banyak musuh islam memanfa’atkan hal ini untuk mengecoh dan membingungkan ummat akan dienul Islam.
Wallahu a’lam bishowab. [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]

Menjelang bulan suci Ramadhan, atau menjelang lebaran, kita sering mendapati berbagai kebutuhan bahan makanan naik. Ada yang 10% bahkan ada yang bisa mencapai 50%. Mulai dari beras, sayur mayur, gula, pakaian, dan sebagainya, semuanya mengalami kenaikan. Akibatnya, banyak barang tidak terbeli dan banyak orang tidak mampu membeli. Kemudian, muncullah usulan untuk melakukan pembatasan harga agar harga barang-barang tidak melambung naik. Menurut sebagian orang, kebijakan ini sangat membantu masyarakat dan bersifat solutif. Benarkah demikian ?

Dalam Islam, pembatasan harga seperti ini disebut dengan tas’ir. Suatu ketika Anas bin Malik ra pernah menceritakan, bahwa pada masa Rasulullah saw. pernah terjadi harga-harga yang melambung tinggi. Para sahabat merasakan keresahan dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga demi kami.” Maksudnya, Rasulullah diminta untuk melakukan pembatasan harga berbagai barang agar tidak melambung naik. Tetapi Rasulullah saw. justru menjawab, “Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezeki; sementara aku sungguh ingin menjumpai Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut aku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR. at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi dan Ahmad).

Rasulullah saw. adalah seorang kepala Negara Islam di Madinah pada waktu itu. Berdasarkan hadis di atas, maka tas’ir (pembatasan harga) sangat bertentangan dengan Islam. Allah telah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….” (QS. An Nisa: 29)

Rasulullah saw. juga pernah bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dengan saling ridha (sama-sama rela/ikhlas).” (HR. Ibnu Majah)

Apa yang salah dari kebijakan ‘pembatasan harga’ ini?

Kesalahannya, terletak pada pelanggaran kepemilikan (milkiyyah). Sebab, kepemilikan seseorang atas suatu harta, itu menjadi kekuasaannya secara penuh. Artinya, sudah menjadi hak si pemilik harta untuk bisa menjual barang (harta) miliknya tersebut, dengan harga yang dia inginkan.

Misalnya, jika saya memiliki sebuah harta berupa beras. Saya jual per kilo dengan harga Rp25.000,00. Ini sah-sah saja, sekalipun harga di pasaran hanya Rp7.000,00. Jadi, seberapa pun orang mau menjual harta yang dimilikinya, itu sah-sah saja. Namun permasalahannya, ada tidak yang mau beli dengan harga yang ditetapkan itu? Oleh karena itu, selayaknya orang menjual hartanya dengan harga sewajarnya, yang mampu dijangkau oleh orang. Bukan dengan seenaknya memasang harga.

Jadi, Islam sangat menjamin kepemilikan seseorang atas harta yang dimilikinya.

Lalu bagaimana dengan kondisi sekarang? Justru di sinilah akar permasalahannya. Negara harus melakukan kontrol terhadap stabilitas permintaan dan penawaran di dalam negeri.

Misalnya, ketika harga-harga barang sedang melonjak naik. Hal seperti ini bisa jadi disebabkan karena barang tersebut tidak tersedia di pasaran, dikarenakan terjadinya penimbunan. Dalam hal ini, syariat Islam sangat mengharamkan terjadinya penimbunan. Oleh karena itu, pelakunya akan dihukum oleh negara. Negara akan menangkap dan memberikan hukuman kepada para pelaku penimbunan itu, dan akan menyita barang-barang hasil timbunannya, kemudian menyerahkannya ke pasar.

Tetapi melonjaknya harga-harga, juga bisa disebabkan oleh semakin berkurangnya penawaran. Jika kondisi seperti ini, maka negara harus mengeluarkan barang-barang cadangan negara (semacam Badan Urusan Logistik/Bulog), atau bisa juga mendatangkan berbagai barang komoditi dari daerah-daerah yang produksinya melimpah. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab ketika terjadi tahun paceklik. Pada waktu itu, beliau mendatangkan berbagai barang-barang kebutuhan pokok dari Mesir dan Syam, dikarenakan terjadi krisis di daerah Hijaz.

Krisis juga bisa terjadi ketika harga-harga sedang anjlok drastis. Hal itu lebih dikarenakan adanya kelebihan penawaran disebabkan karena produksi yang berlebih. Oleh karena itu, negara harus memiliki strategi integral pengaturan produksi, misalnya mendorong petani menanam barang-barang (komoditi) sesuai dengan keunggulan daerahnya, atau membimbing para petani mengatur pola tanam (produksi). Hal seperti ini harus didukung oleh pemerintah dengan berbagai layanan informasi tentang cuaca, informasi pasar, informasi lahan, dan sebagainya.

Negara juga bisa membeli berbagai kebutuhan dari produsen (petani) dengan harga yag layak (wajar). Kemudian komoditi tersebut disimpan di gudang cadangan negara dan bisa dikeluarkan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Berdasarkan hal tersebut, maka sebenarnya negara tidak perlu dan tidak boleh melakukan pembatasan harga. Sebab, pembatasan harga adalah bentuk kezaliman atas diri seseorang. Oleh karena itu, Rasulullah (selaku kepala negara) tidak mau membatasi harga. Ditakutkan, akan ada harga-harga tertentu yang seharusnya dimiliki oleh si fulan, gara-gara ada pembatasan harga, maka si fulan tidak mendapatkannya. Inilah yang disebut zalim. Dan Rasulullah tidak ingin ketika di hari kiamat, beliau masih menyisakan permasalahan dengan orang yang mungkin pernah dizaliminya.

Dan kenyataannya, justru praktik pembatasan harga ini akan mendorong munculnya ‘pasar gelap’. Sebab, dengan adanya pembatasan harga, akan ada rakyat yang merasa dizalimi neara sehingga harus melakukan perdagangan secara sembunyi-sembunyi. Jika praktik pasar gelap sudah terjadi, maka suplay barang ke masyarakat umum akan terkurangi. Jika sudah demikian, maka harga barang justru akan semakin naik.

Sehingga, hukum pembatasan harga (tas’ir) itu haram secara mutlak, untuk semua kondisi dan untuk semua komoditi.

Wallahu a’lam.

By : Agus Trisa

Janji Allah

Kita semua tahu bahwa Allah SWT berfirman,
“… Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya.” (QS. Ar Ra’du: 31)

Ayat di atas, dan ayat-ayat lain yang senada menunjukkan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Menepati janji. Sekali-kali Allah tidak akan mengingkari atau menyalahi janji-Nya. Pengingkaran terhadap ayat ini, maka orang tersebut akan jatuh kafir, termasuk meragukannya. Sebab, ayat ini dan juga ayat lainnya yang senada telah diriwayatkan secara mutawatir, mustahil untuk salah. Kalaupun ada, mungkin orang tersebut adalah orang yang akalnya tidak bekerja dengan baik, sebagaimana orang gila atau orang yang sedang stress.

Allah SWT juga telah berjanji kepada orang-orang Islam bahwa Dia akan menjadikan kaum muslimin berkuasa sebagaimana dulu utusan-utusan Allah berkuasa,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55)

Dalam tafsir Al Ahkam, Imam Al Qurthubi, menulis bahwa ayat ini merupakan janji Allah SWT kepada Rasul SAW bahwasanya Allah SWT akan mengutus pemimpin (khalifah) untuk manusia di bumi sebagaimana ayat 30 Surah Al Baqarah. Tujuannya adalah untuk membereskan urusan pemerintahan dan agar manusia patuh terhadap peribadatan. Juga agar manusia aman dari rasa takut serta menghukum mereka yang bersalah.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: “Ini adalah janji Allah Swt kepada Rasul-Nya bahwa Dia akan menjadikan umatnya sebagai para penguasa di bumi, yakni para pemimpin dan para wali (penguasa daerah), menjadikan negeri mereka makmur, dan menjadikan umat manusia tunduk kepada mereka. Allah juga akan menggantikan ketakutan mereka dengan rasa aman. Hal itu telah Allah buktikan (segala pujian bagi-Nya) dengan dibebaskannya Makkah, Khaibar, Bahrain, seluruh jazirah Arab dan seluruh wilayah Yaman; dipungutnya jizyah dari kalangan Majusi Hijir dan sebagian wilayah Syam; Hiraklius, penguasa Romawi, memberi Nabi saw hadiah; begitu juga Muqauqis, penguasa Mesir, Iskandariyah; penguasa Oman; dan Najasy, penguasa Habsyah, yang kemudian (daerah-daerah terasebut) dikuasai olkeh para sahabat Rasulullah saw yang mulia.”

Imam Asy Syaukani berkata dalam kitabnya Fathul Qadir, “Inilah janji dari Allah swt. kepada orang yang beriman kepada-Nya dan melaksanakan amal salih tentang kekhilafahan bagi mereka di muka bumi sebagaimana Allah pernah mengangkat sebagai penguasa orang-orang sebelum mereka. Inilah janji yang berlaku umum bagi seluruh generasi umat. Ada yang menyatakan bahwa janji ini hanya berlaku bagi sahabat saja. Sesungguhnya pendapat ini tidak memiliki dasar sama sekali. Alasannya, iman dan amal salih tidak hanya khusus ada para sahabat saja, namun bisa saja dipenuhi oleh setiap generasi dari umat ini.”

Asy Syaikh Abdurrahman Nasir As Sa’di rahimahullah berkata tentang surat An Nur ayat 55 di atas: “Janji yang diberikan Allah Ta’ala dalam ayat ini akan terus berlaku sampai hari kiamat. Selama mereka menegakkan keimanan dan amal shalih maka pasti akan diperoleh apa yang dapat dikuasai oleh orang-orang kafir dan munafik, maka itu disebabkan mereka menyia-nyiakan
iman dan amal shalih yang diperintahkan kepada mereka.”

Sehingga, ketika seorang muslim mengingkari bahwa kaum muslim suatu saat berkuasa, maka dia dia telah mengingkari ayat ini. Maka kufurlah ia.

Kemudian, berkuasanya kaum muslim adalah dalam bentuk negara khilafah, bukan negara republik, demokrasi, kerajaan, atau yang lainnya. Mengapa negara khilafah? Sebab ini merupakan kabar dari Rasulullah saw.,
“Masa kenabian akan berlangsung di tengah-tengah kalian sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa ke-Khilafahan yang mengikuti manhaj kenabian selama masa yang diikehendaki Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa kekuasaan yang zhalim (mulkan ‘adhdhan) selama masa yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa kekuasan diktator bengis (mulkan jabariyyan) selam masa yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Setelah itu akan datang (kembali) masa kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian. Kemudian Rasulullah terdiam. (HR. Ahmad)

Para ulama menyatakan:
Yang dimaksud dengan mulkan ‘adhdhan adalah kekuasaan para Khalifah sesudah Khulafaur Rasyidin, yaitu masa kekhilafahan Umayyah, Abbasiyyah, hingga Turki Utsmani, dimana di dalamnya terdapat keburukan-keburukan atau penyimpangan-penyimpangan dalam penerapan syariat Islam, tetapi tetap menjadikan Islam sebagai asas dan sistem hukum/pemerintahannya.

Sedangkan yang dimaksud dengan mulkan jabariyyan adalah masa kekuasaan kaum Muslim setelah runtuhnya sistem kekhilafahan Utsmaniyah. Yaitu masa yang dipenuhi oleh para diktator (para penguasa muslim) yang tidak mau menjalankan sistem pemerintahan (dan hukum) Islam; yang melalaikan dan memakan hak-hak kaum Muslim; yang melayani kepentingan negara-negara kafir; yang dikelilingi oleh orang-orang fasik dan munafik; yang tidak memperjuangkan kemuliaan Islam dan kaum Muslim.

Masa ini adalah masa dimana penguasa suka memaksakan kehendaknya sesuai dengan hawa nafsunya. Masa mulkan jabariyyan adalah masa dimana kita hidup sekarang ini, yaitu masa yang paling buruk yang pernah ditemui oleh kaum Muslim sepanjang sejarah peradaban Islam.

Kemudian setelah itu, Rasulullah saw. mengabarkan akan datang masa kembalinya khilafah Islamiyah dengan manhaj kenabian. Ini bukan sekedar janji, tetapi ini adalah kabar dari Rasulullah saw.

Demikianlah. Bahwa kaum muslimin akan kembali berkuasa. Ini adalah janji Allah. Dan berkuasanya kuam muslimin, ditegaskan oleh Rasulullah saw. yaitu dengan tegaknya kembali negara Khilafah Islamiyah.

Kita semua telah sadar, benar bahwa kaum muslimin berkuasa merupakan janji Allah. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa kelak khilafah akan berdiri. Lantas, apa yang harus dilakukan jika Allah sudah memastikan? Apakah kita harus memperjuangkannya ataukah kita diam saja tanpa perlu memperjuangkannya dan menyibukkan diri dalam amal-amal fardhiyah?

Benar, bahwa Allah telah berjanji kepada kaum muslimin bahwa tegaknya negara khilafah adalah janji Allah. Tetapi hendaknya kaum muslim kemudian lantas berdiam diri atas hal tersebut. Mengapa? Sebab, walaupun tegaknya kembali negara khilafah merupakan janji Allah, tetapi Allah dan rasul-Nya juga memerintahkan kepada kaum muslim untuk melakukan amal-amal yang mengarah kepada tegaknya negara khilafah. Ini artinya, untuk memenuhi janji Allah tersebut, maka kaum muslimin wajib melakukan amal-amal yang berkaitan dengan tegaknya khilafah.

Allah swt. berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta orang-orang yang menjadi pemimpin di antara kalian.” (QS. An Nisa’: 59)

Ayat ini memerintahkan ketaatan kepada Allah, dan Rasul serta pemimpin, dimana hukum ketaatan tersebut adalah wajib. Maka, baik Allah maupun Rasul, keberadaannya sama-sama pasti, karena itu hukum menaatinya adalah pasti; tidak berubah menjadi tidak wajib hanya karena ketiadaan objek yang ditaati. Sebaliknya, jika diperintahkan untuk menaati, maka hukum mewujudkan objek yang ditaati menjadi pasti (wajib). Sebab, tidak pernah ada hukum wajib diperintahkan atas sesuatu yang keberadaannya tidak ada.

Ada juga hadis Nabi Muhammad saw. tentang baiat, yaitu dari Abdullah bin Umar,
Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari akhir ia akan bertemu dengan Allah swt tanpa memiliki hujjah. Barangsiapa mata, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya seperti mati jahiliyyah. (HR. Muslim)

Nabi Muhammad saw. telah mewajibkan kaum muslim agar di atas pundak mereka terdapat baiat. Beliau mensifati orang yang meninggal sedangkan di pundaknya tidak ada baiat seperti mati jahiliyah. Baiat itu hanya diberikan kepada khalifah, bukan yang lain.

Rasululah telah mewajibkan agar di atas pundak mereka terdapat baiat kepada khalifah, namun beliau tidak mewajibkan setiap muslim untuk melakukan baiat. Karena yang wajib hanyalah adanya baiat di atas pundak setiap muslim, yaitu adanya seorang khalifah. Sehingga dengan adanya seorang khalifah itu maka baiat bisa diwujudkan. Adanya khalifahlah yang esensinya yang menentukan ada dan tidaknya baiat di atas pundak setiap muslim. Baik mereka membaiatnya secara langsung atau pun tidak. Karena itu hadis di atas adalah dalil wajibnya menegakkan khilafah bukan dalil wajibnya baiat. Karena yang dikecam oleh Rasulullah adalah tidak adanya baiat di atas pundak kaum muslimin, hingga mereka mati, dan bukan mengecam tidak adanya baiat itu sendiri.

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berkata: “Wajib menjadikan kepemimpinan (khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Taqarrub kepada Allah di dalam kepemimpinan (kekhalifahan) itu diraih dengan menaati Allah dan rasul-Nya, adalah termasuk dalam taqarub yang paling utama.” Hal ini terdapat dalam kitab Majmu Fatawa, sebuah kitab beliau yang sangat terkenal.

Dengan demikian, berjuang menegakkan negara khilafah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi.

Lalu bagaimana dengan orang yang tidak mau memperjuangkan tegaknya khilafah dan hanya menyibukkan diri beribadah melakukan amal fardhiyah? Dengan alasan: Allah sudah berjanji, maka Allah pasti akan menegakkannya. Jadi negara khilafah tidak perlu diperjuangkan.

Allah berfirman,
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thahaa: 124)

Apalagi jika hal ini diperparah dengan perbuatannya yang ikut serta mengokohkan sekulerisme yang diinginkan oleh orang kafir. Mereka bahkan membela orang-orang kafir dan menjadikan mereka pihak-pihak yang menjadi rujukan. Hal ini akan sangat membuat Allah murka.

Berkaitan dengan hal tersebut, ada baiknya kita menyimak firman Allah berikut,
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran: 28)

Kemudian, orang yang selalu menyibukkan diri dengan amal fardhiyah dan mengabaikan berbagai dalil tentang kewajiban memperjuangkan syariat Islam, maka kepada mereka Allah berfirman,
“…Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 85)

Jadi, Allah tidak hanya berjanji kepada orang-orang mukmin. Tetapi Allah juga berjanji kepada orang-orang yang menyepelekan ayat-ayat-Nya. Dan kembali ke awal,
“… Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya.” (QS. Ar Ra’du: 31)

Wallahu a’lam…

Oleh : Agus Trisa

Pengkhianatan Manusia terhadap Alquran (Renungan Menjelang Nuzulul Quran)

Oleh : Agus Trisa

Manusia… Sesosok makhluk lemah, terbatas, dan selalu membutuhkan. Itulah karakter utama makhluk, dan manusia adalah salah satunya. Manusia diciptakan dari air yang memancar. Orang menganggap, bahwa manusia itu diciptakan dari air yang menjijikkan. Namun demikian, ada juga seorang manusia yang memiliki sifat buruk. Tidak memahami hakikat kejadiannya dan berusaha merendahkan pihak lain yang dinilainya lemah.

Manusia sering dikatakan sebagai makhluk yang sombong. Ya, ini sangat terbukti. Apalagi Allah telah memberikan fitrah gharizatut tadayyun (naluri menyembah sesuatu). Lihatlah, ketika manusia sedang dilanda kesusahan, kesulitan, dan kesempitan.. Maka seketika itu pula manusia berlagak lemah, tanpa daya, seraya mengucap Laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Tiada kekuatan dan daya upaya selain milik Allah. Seolah-olah manusia adalah makhluk yang hina. Mengemis kasih sayang Allah. Meminta-minta, dan dengan khusyuk bercucuranlah air matanya ketika salat dan berdzikir.

Tetapi begitu permohonannya terkabul, maka seketika itu juga manusia pun berubah. Kerendahan diri dan hati seolah hanya sekedar isapan jempol. Kerendahan itu menjelma menjadi kesombongan dan keangkuhan. Dirinya yang dulu hina dan lemah, kini merasa kuat, sehat sejagad. Merasa lebih dari pihak lain dan merasa dialah yang merasa serba paling. Paling berharta, paling benar, paling hebat, paling berilmu, dan sebagainya. Lupa bahwa tiada kekuatan dan daya upaya selain milik Allah.

Namun, seandainya sedikit saja nikmat itu dicabut Allah, maka kemuliaan dirinya berubah kembali menjadi seorang peminta-minta. Allah menggambarkan hal ini,
“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.” (QS. Al Isra: 83)

Ini sama artinya dengan memperlakukan Allah seperti dukun. Na’udzubillahi min dzalik. Dipuja puji, didekati, hanya jika diperlukan. Ini adalah sebuah pengkhianatan.

Pengkhianatan ini sangat tercermin dalam keseharian manusia. Lihatlah, ketika dia sedang melaksanakan salat, sehari minimal 17 rekaat, pada saat itu manusia berkali-kali memohon kepada Allah untuk diberikan petunjuk. Tetapi seketika itu pula, petunjuk itu dibuang dan dicampakkan.

Setiap kali melaksanakan salat, manusia selalu berucap (dalam SURAT AL FATIHAH):
1. DENGAN MENYEBUT NAMA ALLAH YANG MAHA PEMURAH LAGI MAHA PENYAYANG
Di pujilah nama Allah. Tuhannya. Tuhan manusia. Tuhan seluruh makhluk. Dipujinya Dia dengan menyebutnya sebagai Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Ya.. Hanya dengan memuji itulah manusia mengemis kepada Allah. Dzat yang Maha Agung. Apa yang bisa dilakukan manusia untuk menghamba kepada Allah selain dengan memuji-muji?

2. SEGALA PUJI BAGI ALLAH, TUHAN SEMESTA ALAM
Sekali lagi, manusia memuji-Nya. Dipujinya Dia dengan pujian yang amat agung. Tuhan semesta alam.

3. MAHA PEMURAH LAGI MAHA PENYAYANG
Pujian itu kembali diulangi. Entah benar-benar memuji atau memang hanya sekedar untuk menjilat Allah Illahi Rabbi.

4. YANG MENGUASAI HARI PEMBALASAN
Tidak hanya itu. Manusia juga memuji Allah sebagai pihak yang paling berkuasa. Yang menguasai hari pembalasan. Yang menguasai hari kiamat. Tidak ada yang berkuasa di hari kiamat selain Allah. Demikian ucap manusia dalam bacaan salatnya.

5. HANYA KEPADA ENGKAULAH KAMI MENYEMBAH DAN HANYA KEPADA ENGKAULAH KAMI MOHON PERTOLONGAN
Kemudian, mulailah terbuka semuanya. Manusia mulai menunjukkan kelemahan. Manusia merasa bahwa hanya kepada Allah memohon pertolongan. Manusia menunjukkan kelemahannya. Seolah-olah ingin mengatakan.. “Ya Allah.. Tolonglah aku dari segala kesulitan ini..”

6. TUNJUKILAH KAMI JALAN YANG LURUS
Dengan mengemis, manusia melemahkan dan merendahkan diri. Memohon kepada Allah agar diberikan jalan petunjuk. Sebuah jalan lurus, tidak berbelok-belok. Murni lurus. Yaitu petunjuk Allah. Ya.. Manusia memohon agar diberikan petunjuk ketika dia sedang menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan dan kesempitan hidup.

7. (YAITU) JALAN ORANG-ORANG YANG TELAH ENGKAU ANUGERAHKAN NIKMAT KEPADA MEREKA, BUKAN (JALAN) MEREKA YANG DIMURKAI DAN BUKAN (PULA JALAN) MEREKA YANG SESAT
Tidak hanya itu. Bahkan manusia juga dengan senang hati menunjukkan kepada Allah, mana jalan yang lurus dan mana jalan yang sesat. Seolah-olah mereka ingin menyatakan, “Ini lho jalan yang lurus, dan itu jalan yang sesat.”

Kemudian, manusia pun memohon agar permohonannya itu dikabulkan seraya mengucap AAMIIN. Demikianlah, diulang-ulanginya permohonan itu 17 kali sehari, dari kalimat pertama hingga ketujuh. Di-amin-kan pula.

Tetapi ada yang aneh. Sekali lagi manusia mengkhianati Allah.

Jika manusia mau untuk membuka Alquran dari Surat Al Fatihah kemudian terus dibaca hingga masuk ke surat ke dua, sesungguhnya, Allah telah mengabulkan doa manusia itu. Ya.. Allah telah mengabulkan doa manusia. Sebuah doa yang diucapkan minimal tujuh belas kali sehari, dan doa itu dikabulkan Allah. Allah memberikan jawabannya dengan senang hati. Sebab, Allah memang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah.

Allah mengabulkan permohonan manusia itu seraya berfirman (dalam SURAT AL BAQARAH):
1. ALIF LAAM MIIM
2. KITAB (ALQURAN) INI TIDAK ADA KERAGUAN PADANYA; PETUNJUK BAGI MEREKA YANG BERTAKWA

Allah telah mengabulkan doa manusia. Manusia meminta petunjuk. Manusia meminta petunjuk untuk menuju jalan yang lurus, yaitu jalan yang benar-benar lurus dipenuhi dengan hidayah, bukan jalan orang-orang yang sesat. Dan ternyata Allah telah mengabulkan doa manusia. Yaitu dengan diturunkannya Alquran. Sebuah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya. Sebuah kitab yang penuh dengan petunjuk Allah. Kitab yang berisi jalan yang lurus. Ya.. Sekali lagi tidak ada keraguan di dalamnya.. Tidak ada keraguan sedikit pun di dalam Alquran itu.

Dan apa yang terjadi selanjutnya. Manusia mengkhianati-Nya. Manusia mempermainkan-Nya. Kitab yang tiada keraguan itu dipandang sebelah mata. Entah karena ragu atau karena apa. Manusia meminta petunjuk. Diberi. Kemudian dicampakkan.

Ketika manusia menghadapi berbagai kesempitan hidup. Ketika manusia menghadapi berbagai problem kehidupan; politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Ketika manusia menghadapi problem pribadi. Ketika manusia menghadapi keresahan diri. Ketika manusia menghadapi kehampaan diri. Maka Alquran ini sesungguhnya adalah petunjuk.

Tetapi tidak. Manusia lebih memilih penyelesaian dengan caranya sendiri. Mereka ingin memiliki Tuhan. Tetapi menuhankan selain Allah, padahal Alquran telah menunjukkannya. Mereka ingin menyelesaikan problem politik. Tetapi lebih memilih memakai sistem politik orang-orang kafir, padahal Alquran telah menunjukkannya. Mereka ingin menyelesaikan persoalan akidah. Tetapi lebih memilih cara penyelesaian orang-orang kafir, padahal Alquran telah menunjukkannya. Mereka ingin memberantas kemiskinan. Tetapi kebijakan kaum kafir lebih dipilihnya, padahal Alquran telah menunjukinya. Mereka ingin berakhlak mulia. Tetapi akhlak kaum kafir justru diambilnya, padahal Alquran telah menunjukinya. Mereka ingin agar negeri ini berkah. Tetapi melakukan berbagai kemaksiyatan di berbagai bidang kehidupan, padahal Alquran telah melarangnya.

Inilah pengkhianatan umat manusia. Mereka seolah melecehkan Allah. Mereka meminta ini. Lalu mereka membuangnya. Mereka diminta melaksanakan hukum secara sempurna. Tetapi mereka membuang sebagian yang lainnya..

Inilah pengkhianatan manusia.

Ini hanyalah sebuah pendapat. Bukan ijtihad. Apalagi tafsir. Sangat subjektif. Ini hanyalah sebuah catatan kecil dari makhluk yang lemah. Ini hanyalah salah satu usaha untuk tidak berkhianat terhadap Alquran.

Wallahu a’lam

Oleh : Irfan Habibie Martanegara

Berikut ini adalah ringkasan dari tanya jawab bersama Yasir Qadhi, seorang ulama Amerika Serikat lulusan Universitas Madinah, mengenai pertanyaan yang sering terbersit dalam benak saya. “Bagaimana nasib orang yang tidak mengetahui Islam di akhirat kelak?” http://www.youtube.com/watch?v=NDkPx3Tzy1M). Oh ya sebagai catatan, dia juga lulusan teknik kimia dari Universitas Houston.

Jawaban untuk pertanyaan ini dua tingkat. Jawaban tingkat dasar adalah tidak ada manfaatnya bagi kita memikirkan nasib orang lain di akhirat kelak. Menurut para ulama, menjadi suatu masalah tersendiri mengkhawatirkan urusan orang lain dengan Allah secara berlebihan. Islam menyuruh kita untuk mengkhawatirkan diri kita sendiri. Ada aturan umum bertanya dalam Islam, “Tanyakanlah sesuatu yang bermanfaat bagi diri kita sendiri.”

Karena tidak ada manfaatnya, jangan membebani diri terlalu berlebihan dengan pertanyaan ini. Kita serahkan saja urusan mereka dengan Allah. Apa bedanya kita bertanya tentang urusan mereka bagi kita? Cukup bagi kita meyakini bahwa Allah itu Mahatahu, Allah itu Maha Penyayang, Allah itu Mahabijaksana, dan Allah itu Mahaadil.

Jawaban tingkat kedua, orang yang mempunyai akses terhadap ajaran Islam atau mengetahui Tauhid tetapi tidak memanfaatkan pengetahuannya itu, tidak ada alasan lagi bagi mereka di hadapan Allah.

Hadits riwayat Bukhari menceritakan nasib seorang paman jauh dari Aisyah yang bernama Abdullah bin Jud’an. Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, Ibn Jud’an adalah orang yang luar biasa, ia santun kepada tetangga, dan baik kepada setiap orang. Bagamana nasibnya di akhirat kelak?” Nabi menganggapi, “Ia akan masuk neraka.” Aisyah kembali bertanya, “Mengapa?” Nabi menjawab, “Ia tidak pernah mengatakan, ‘rabbighfirli, rabbighfirli’, ya Allah ampuni aku, ya Allah ampuni aku.”

Ada poin menarik dari hadits ini, pada masa kini orang menganggap kesolehan dan kebaikan cukup dengan berbuat baik kepada orang lain. Kalau kita berbuat baik kepada orang lain, senyum kepada setiap orang, membuka rumah sakit atau panti asuhan, maka itu cukup dan kita akan pergi ke surga. Tidak peduli apa yang diimani, tidak peduli apa dia mengimani tuhan punya anak, itu jadi tidak relevan. Padahal yang kita pelajari dari hadits di atas sebenarnya tidak.

Memang amal yang tadi disebutkan itu baik, tapi ada elemen lain yang lebih penting yaitu meyakini dan menyembah pencipta kita. Pada hari akhir, berbuat baik kepada orang itu bagus, tapi beriman dan beribadah kepada-Nya lebih penting. Apa gunanya berbuat baik kepada orang lain, tetapi mengingkari pemberi kebaikan terbesar kepada kita.

Pada kasus Ibn Jud’an, dia adalah orang yang hidup tanpa memperdulikan agama. Dia tidak pernah mengucapkan rabbighfirli, ya Allah ampuni aku. Pertanyaannya mengapa Allah harus mengampuni orang yang tidak pernah memohon ampun kepada-Nya? Mengapa Allah harus memberi ganjaran kepada orang yang melakukan sesuatu tidak dengan niat kepada-Nya?

Ini memang bertentangan dengan apa yang diyakini banyak orang saat ini, kesalehan seseorang hanya diukur dari seberapa baik ia terhadap orang lain. Dalam Islam, kebaikan diukur dari dua hal: apa yang kamu yakini dan apa yang kamu perbuat. Innalladzina amanu wa a’milusshalihat. Keimanan dan amal soleh harus berjalan beriringan. Tidak berguna jika kita hanya punya salah satunya saja.

Bahkan menjadi seorang muslim tidak menjamin kita masuk surga. Kita bahkan tidak boleh mengatakan, “Saya akan masuk surga dan kamu akan masuk neraka,” kecuali Allah yang mengatakannya. Kita mengatakan Abu Bakar akan masuk surga berdasarkan wahyu dari Allah. Kita mengatakan Umar akan masuk surga, sedang Firaun akan masuk neraka juga berdasarkan wahyu dari Allah. Selain itu tidak boleh.

Kita juga tidak boleh mengatakannya para ulama besar sekaliber Imam Syafii, Imam Abu Hanifa, Imam Malik, dan Imam Ahmad akan masuk surga. Kita hanya boleh mengatakan, “Semoga mereka dimasukkan ke surga.” Hal yang sama juga berlaku kepada orang terburuk di dunia ini. Kita tidak boleh menyebutkan nama , si Fulan atau si Fulanah akan masuk neraka. Siapa kita bisa memastikan hal itu? Kita serahkan saja hal tersebut kepada Allah.

Kita hanya boleh menyebut secara umum saja, “Siapa yang beriman kepada Allah dan berbuat amal baik akan masuk surga, dan kita berharap menjadi salah satu di antara mereka. Siapa yang tidak beriman kepada Allah dan berbuat baik akan masuk neraka, dan kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut.”

Keluarga Sakinah Penegak Syariah dan Khilafah
Keluarga Pengemban Dakwah

Islam mewajibkan setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan, untuk menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Menjadikan akidah Islam sebagai asas rumah tangga berarti mendudukkan akidah sebagai penentu tujuan hidup dalam berumah tangga. Akidah Islam menetapkan bahwa tujuan hidup setiap manusia adalah menggapai ridha Allah Swt. melalui ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada-Nya (QS adz-Dzariyat [51]: 56).

Berdasarkan hal ini, maka orang yang berpegang teguh pada akidah Islam akan senantiasa terikat dengan aturan-aturan Islam, termasuk dalam membangun kehidupan rumah tangga; membina dan menjalaninya. Motivasi dalam berkeluarga adalah semata-mata berharap mendapat ridha-Nya. Keberhasilan materi bukan hal yang utama. Setiap perintah Allah akan dilaksanakan sekalipun berat, penuh rintangan dan halangan, serta tidak terbayang keuntungan materinya. Sebaliknya, semua yang dilarang-Nya akan senantiasa dihindari walaupun menarik hati, menyenangkan, dan menjanjikan kesenangan materi.

Salah satu perintah Allah Swt. kepada suami dan istri adalah dakwah. Perhatikanlah firman Allah Swt. berikut:

]وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ[

Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar. (QS at-Taubah [9]: 71).

Dalam ayat ini Allah Swt. menyatakan bahwa berdakwah merupakan aktivitas yang menyatu dengan keimanan seseorang, baik laki-laki maupun wanita. Allah Swt. juga berfirman:

]وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ[

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa dakwah bukanlah tanggung jawab seseorang saja, tetapi harus dilakukan secara berjamaah; harus ada sekelompok orang beranggotakan laki-laki maupun perempuan yang mampu menegakkan tujuan dakwah.

Jadi jelas, bahwa dakwah memang wajib dilakukan oleh setiap muslim laki-laki maupun wanita, suami maupun istri. Sekarang, setidaknya separuh jumlah penduduk dunia adalah wanita. Padahal pihak yang layak dan tepat berdakwah di kalangan wanita adalah kaum wanita; ibu dan calon ibu. Apalagi kondisi wanita sekarang telah dijadikan sasaran yang empuk untuk meruntuhkan suatu bangsa.

Dengan demikian, suami dan istri sama-sama meyakini bahwa dakwah merupakan kewajiban mereka. Suami tidak akan menghalang-halangi istrinya berdakwah. Sebab, menghalangi istri berdakwah berarti menghalanginya menunaikan kewajiban. Hal ini sama saja dengan menjerumuskannya ke dalam dosa. Sebaliknya, istri juga akan meridhai suaminya berdakwah. Suatu kali suaminya kendur dalam dakwah, bersegeralah ia menyemangatinya. Istri bangga memiliki suami sebagai pengemban dakwah, suami pun bangga memiliki istri pengemban dakwah. “Keluarga kami adalah keluarga pengemban dakwah,” begitu jiwanya berkata. Inilah kebahagiaan ideologis.

Mengatasi Problem Keluarga

Hidup berumah tangga bukanlah jalan tol yang tanpa hambatan. Ujian, cobaan, dan hambatan akan datang silih berganti. Hal ini penting selalu disadari oleh setiap pasangan suami-istri.

Sepasang suami-istri akan ingat bahwa ketika mereka menikah berarti dia telah menjawab satu pertanyaan penting dalam hidupnya, “Dengan siapa Anda akan berjuang bersama mengarungi kehidupan demi mencapai ridha Allah dan masuk surga bersama-sama?” Dengan mengingat hal ini maka suami dan istri adalah sahabat satu sama lain. Secara îmâni, suami-istri bukan sekadar bertujuan mencapai kebahagiaan seksual atau status sosial tinggi, melainkan masuk surga bersama-sama. (Lihat: QS az-Zukhruf [43]: 70-71). Rumah tangga yang dibentuknya bukan sembarang rumah tangga, melainkan rumah tangga yang akan diboyong ke surga. Inilah perkara yang senantiasa diingatnya ketika menghadapi persoalan. Karenanya, ketika terjadi guncangan rumah tangga, mereka saling berpegangan, bukan justru saling berlepas tangan. Solusi dan prinsip dalam menyelesaikan persoalan pun senantiasa disandarkan pada akidah dan syariat Islam.

Di antara persoalan yang muncul dalam rumah tangga adalah:

1.Ketimpangan pemahaman Islam antara suami-istri. Adanya jurang pemahaman sepasang suami-istri dapat menghadapi keguncangan dalam rumah tangga. Dakwah pun akan terganggu. Persoalan ini perlu diselesaikan dengan cara menyamakan persepsi. Caranya adalah berdialog; bukan dialog seperti penguasa dengan rakyat, tetapi dialog antara dua sahabat yang dilandasi cinta dan kasih sayang. Jika dialog terasa sulit, maka suami akan meminta dan mendorong istrinya mengikuti proses pembinaan. Hal yang sama dilakukan juga oleh istri kepada suaminya. Rasulullah saw. sering berdialog dengan istri-istrinya.

2.Beban hidup keluarga. Kezaliman penguasa seperti menaikkan harga BBM telah memukul masyarakat, tak terkecuali keluarga pengemban dakwah. Saat menghadapi persoalan ini keluarga Muslim akan menghadapinya dengan penuh kesabaran. Mereka yakin, Allah sajalah Maha Pemberi rezeki; Dialah yang meluaskan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki; Dia pula yang menyempitkan rezeki atas siapa saja yang Dia kehendaki. Keluarga Muslim memandang kaya atau miskin hanyalah cobaan dari Allah, Zat Yang Mahagagah. Hal ini justru mendorong mereka untuk semakin taat kepada Allah Swt. (Lihat: QS al-A‘raf [7]:168). Suami akan terus berusaha mencari nafkah. Istri pun tidak banyak menuntut.

Janganlah mengira Rasulullah hidup penuh kelonggaran. Sudah dimaklumi, Rasulullah saw. hidup dalam kefakiran. Nabi kekasih Allah tersebut dan keluarganya sering tidak kenyang makan selama tiga hari berturut-turut. Hal ini beliau alami hingga pulang ke rahmatullah (HR al-Bukhari dan Muslim). Namun, beliau dan istri-istrinya tetap teguh dalam dakwah Islam.

3.Masalah prioritas amal suami-istri. Kadangkala suami memprioritaskan agar istrinya mengasuh anak yang sakit, misalnya; sementara istrinya lebih mengutamakan kontak tokoh. Perselisihan pun terjadi. Sebenarnya, penentuan prioritas (al-awlawiyât) harus mengacu pada hukum syariah. Oleh sebab itu, suami dan istri penting memahami kedudukan masing-masing berdasarkan syariah. Suami wajib memperlakukan istri dengan baik (ma‘rûf), memberi nafkah, mendidik istri, menjaga kehormatan istri dan keluarga. Istri berkewajiban taat kepada suami, menjaga amanat sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt, menjaga kehormatan dan harta suami, meminta izin bepergian kepada suami. Sementara itu, kewajiban bersamanya adalah menjaga iman dan takwa; menjaga senantiasa taat kepada Allah Swt. menghindari maksiat, dan saling mengingatkan. Diupayakan, semua kewajiban dikompromikan antara suami dan istri. Jika pada suatu situasi dan kondisi tertentu terjadi bentrokan kepentingan antara peran sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt dan tugas dakwah, sedangkan pemaduan keduanya tidak dapat dilakukan, maka secara syar‘i prioritas yang harus dilakukan adalah kedudukan sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt.

Prinsip Dakwah Sinergis

Ada lagi persoalan lain yang kadangkala muncul. Namun, bagi setiap persoalan yang muncul, inti pemecahan masalahnya adalah:

1.Mengetahui hak dan kewajiban masing-masing serta hak dan kewajiban bersama, lalu berupaya mengkompromikannya. Jika tidak bisa, kembali pada awlawiyât berdasarkan hukum syariah.

2.Membangun komunikasi dan saling pengertian. Rasulullah saw. senantiasa berkomunikasi dengan Ibunda Khadijah ra. Beliau bersama istrinya berupaya bersama membincangkan persoalan dakwah. Bahkan, beliau menyempatkan berkomunikasi dan bersenda-gurau dengan istri-istrinya setiap sehabis isya. Setelah itu, barulah beliau menginap di tempat istri yang mendapat giliran. Nabi saw. mencontohkan bahwa komunikasi merupakan persoalan vital dalam rumah tangga. Tentu, saat komunikasi bukan melulu persoalan yang berat-berat, melainkan juga terkait dengan persoalan ringan seperti makanan yang enak, foto keluarga, dll.

3.Saling mendukung sebagai tim dakwah terkecil. Dukungan orang-orang terdekat—suami dan istri, anak-anak, orangtua, dan orang-orang yang berada di sekitarnya—langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap kesuksesan tim dakwah keluarga. Beban rumah tangga, nafkah, dan dakwah jelas sangat berat. Akan lebih berat lagi jika suami/istri atau keluarga tidak memahami kewajiban ini. Sebaliknya, semua tugas akan terasa ringan dan menyenangkan, rasa lelah segera hilang jika suami/istri dan keluarga memahami aktivitasnya; mendukung, apalagi turut membantu. Suami dan istri sama-sama memahami bahwa aktivitas tersebut bukan didasari oleh keinginan untuk aktualisasi diri, karir, ataupun untuk persaingan antara suami-istri. Keduanya akan saling menolong dalam beribadah kepada Allah dan berlomba dalam kebaikan. Dengan begitu, akan tercipta sebuah keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah. Bagi Muslimah shalihah, seberat apa pun beban yang harus ditunaikan tidak berarti apa-apa jika dukungan dan ridha suami senantiasa menyertainya. Begitu juga, seorang suami salih akan tetap tersenyum bahagia jika istrinya shalihah dan menopang dakwahnya. Di sinilah peran penting suami-istri saling mendukung dalam menunaikan kewajiban dakwah dari Allah, Zat Yang Mahakuasa. Perlu suami-suami menjadi seperti Nabi saw. dan para sahabat; perlu istri-istri menjadi laksana ummul mukminin dan shahabiyât yang secara harmonis berjuang bersama memperjuangkan Islam.

4.Pentingnya ukhuwah sesama pengemban dakwah. Dakwah tidak mungkin dilakukan secara individual. Dakwah berjamaah adalah suatu keniscayaan. Ukhuwah di antara pengemban dakwah juga terus dipelihara selama mereka berinteraksi. Dengan begitu, satu sama lain akan saling mengenal, saling memahami, dan saling membantu. Masing-masing memahami karakter, kemampuan, kondisi, kendala, serta apa yang dibutuhkan. Tidak akan ada beban yang diberikan di luar kemampuan seseorang atau membuat dia lalai terhadap kewajibannya yang lain. Kalaupun ada kendala pada individu pengemban dakwah bukan langsung disalahkan, tetapi akan diteliti akar permasalahannya dan dicari solusi pemecahannya. Sebuah jamaah dakwah ibarat roda yang berputar. Masing-masing bagian menempati posisi dan fungsi masing-masing; kadang berada di bawah kemudian bergulir ke atas. Demikian halnya dengan seorang pengemban dakwah. Ketika dia sedang diliputi kendala, keadaannya ibarat bagian bawah roda. Saudaranya sigap dan cepat bereaksi untuk membantunya. Jika ini terjadi maka suatu keluarga pengemban dakwah yang tengah mendapatkan kesulitan diringankan oleh saudaranya dari keluarga lain.

Profil Keluarga

Keluarga Nabi saw. adalah keluarga sakinah penegak syariah. Beliau sebagai seorang suami sering bergurau, berbuat makruf, dan lembut terhadap istrinya. Beliaupun sekaligus rasul pejuang Islam. Salah seorang istrinya, Ibunda Khadijah, adalah penopang utama dakwah Nabi saw., beriman pertama kali, membiayai hampir seluruh dakwahnya. Sekalipun demikian, Ibunda Khadijah tetap rendah hati, berakhlak mulia, dan menjaga kesuciannya. Ia juga menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya serta tetap menghormati dan menaati Rasulullah saw. sebagai suaminya. Dari ibu mulia inilah lahir perempuan mulia Fatimah az-Zahra. Hidup beliau dilalui dengan penuh kesetiaan dan kebajikan. Sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Ia mendampingi Rasulullah saw. dalam suka dan duka perjuangan (Lihat: Akhmad Khalil Jam’ah, Wanita Yang Dijamin Syurga, Darul Falah, Jakarta, 2002, hlm. 16).

Ibunda Khadijahlah yang senantiasa menenangkan ketakutan Nabi saw. Tampaklah, keluarga beliau adalah keluarga sakinah yang pejuang, atau keluarga pejuang yang sakinah.

Profil seperti itu terjadi juga pada keluarga Yasir bin Amir bin Malik. Dia bersama istrinya Sumayyah binti Khubath ra., dan anaknya Amar bin Yasir, termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam. Pasangan suami-istri tersebut berhasil mendidik anaknya menjadi salih. Sang suami amat sayang kepada istri dan anaknya. Semasa hidupnya pun Sumayyah dikenal sebagai seorang istri yang baik, berbakti, dan mengabdi kepada suaminya. Ia bersama suaminya dalam suka dan duka. Mereka bukan hanya sebagai keluarga sakinah, melainkan juga mempertaruhkan nyawanya demi melawan musuh-musuh Islam. Jelas, mereka adalah keluarga sakinah penegak Islam.

Contoh lain adalah keluarga Abu Thalhah. Beliau adalah seorang pejuang dan sahabat dekat Nabi saw. Istrinya bernama Ummu Sulaym binti Milhan ra. Dia adalah seorang perempuan Anshar. Ia termasuh shahabiyah yang utama. Ilmu, pemahaman, keberanian, kemurahan hati, kebersihan, dan keikhlasan bagi Allah dan Rasul terkumpul dalam dirinya. Sebagai ayah dan ibu mereka berhasil. Buktinya, Anas bin Malik yang banyak meriwayatkan hadis itu adalah anak mereka. Hubungan suami-istri pun mesra. Ummu Sulaym senantiasa menyediakan makanan dan minuman, berdandan cantik, bercakap dan bersenda gurau. Sungguh, keluarga mereka bukan hanya pembela Nabi saw., melainkan juga sakinah.

Banyak lagi contoh-contoh profil keluarga sahabat. Intinya, mereka memadukan peran ayah/ibu dan anak, peran suami-istri, dan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, dengan perjuangan Islam. Jika kita hendak menjadi keluarga seperti mereka maka kita mesti menjadi ‘keluarga sakinah penegak syariah dan Khilafah’. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.(MR Kurnia)

Melatih Anak Gemar Bersedekah

Bersedekah merupakan pemberian dari seorang Muslim secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi waktu dan jumlah. Dari segi bentuknya, sedekah sesungguhnya tidak dibatasi pemberian dalam bentuk uang, tetapi sejumlah amal kebaikan yang dilakukan seorang Muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap Muslim wajib bersedekah.” Para Sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mempunyai sesuatu untuk disedekahkan?” Nabi saw. menjawab, “Hendaklah ia bekerja hingga dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan dapat pula bersedekah.” Para Sahabat bertanya lagi, “Jika ia tidak dapat bekerja, bagaimana?” Nabi saw. menjawab, “Hendaklah ia menolong orang yang memerlukan pertolongan.” Para Sahabat bertanya pula, “Jika ia masih tidak juga, bagaimana?” Nabi saw. menjawab, “Hendaklah ia menyuruh orang lain berbuat baik.” Para sahabat masih bertanya lagi, “Jika beramar makruf pun ia tidak dapat, bagaimana?” Nabi menjawab: “Hendaklah ia menahan diri dari keburukan. Sungguh menahan diri dari keburukan itu merupakan sedekah.” (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).

Bersedekah, selain merupakan sarana beribadah, juga bisa digunakan untuk melatih empati anak kepada orang lain. Empati berarti menempatkan diri seolah-olah menjadi seperti orang lain. Rasa empati pada anak harus diasah. Jika dibiarkan, rasa empati tersebut sedikit demi sedikit akan terkikis walau tidak sepenuhnya hilang, bergantung pada lingkungan yang membentuknya. Banyak segi positif jika kita mengajari anak berempati. Mereka tidak akan agresif dan senang membantu orang lain.

Rasulullah saw. pun sangat menekankan pentingnya mengembangkan sikap empati ini. Gambaran orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi dan saling berempati di antara sesama mereka adalah laksana satu tubuh; jika ada sebagian dari anggota tubuh yang sakit maka seluruh anggota tubuh akan ikut merasakan sakit.

Anak bisa diajari konsep empati sejak usia 2 tahun, saat mereka sudah mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Biasanya dari hal-hal yang sederhana. Contoh: ketika anak sedang makan dan di sampingnya ada orang, maka ajarkanlah anak untuk menawarkan makanannya. Dengan begitu anak biasa berbagi dan peduli pada orang lain.

Kiat Agar Anak Gemar Bersedekah

1. Berikan motivasi melalui hadis dan ayat-ayat yang berbicara tentang sedekah.

Motivasi adalah dorongan yang timbul dalam diri seseorang. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran dan hadis Rasulullah yang menggambarkan pahala orang yang menafkahkan sebagian hartanya. Ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut hendaknya sudah mulai dikenalkan kepada anak sejak dini. Dengan membacakannya, menghapal dan mengkajinya akan memberikan motivasi yang luar biasa buat anak. Cara mengkajinya tentu dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak. Ayat yang bisa disampaikan antara lain:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahatahu (QS al-Baqarah [2]: 261).

2. Bacakan kisah-kisah para Sahabat Rasulullah saw. yang gemar menafkahkan hartanya.

Rasanya tidak ada anak-anak yang tidak suka cerita. Apalagi kalau yang bercerita adalah ibunya. Anak memperoleh rasa senang ketika mendengarkan cerita yang dibacakan. Anak akan merasa senang bukan hanya karena mendengarkan suatu cerita, namun juga merasa dirinya diperhatikan dan diperlakukan secara spesial. Hal ini akan membantu menciptakan rasa aman dan percaya diri pada anak. Kesukaan anak-anak mendengarkan cerita biasanya didukung oleh kemampuan mereka memusatkan perhatian untuk beberapa lama terhadap obyek tertentu. Ini umumnya terjadi pada usia sekitar 3 atau 4 tahun.

Banyak memang buku cerita anak-anak yang berada di pasaran. Orangtua yang bijak tentu tidak akan asal memilih buku, tetapi membeli yang sekaligus dapat menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak. Selain untuk menyampaikan pesan, membacakan buku cerita juga akan lebih mempererat hubungan ibu dengan anak, menambah perbendaharaan bahasa anak yang akan membantu perkembangan kemampuan sosialisasinya, sekaligus untuk memberikan pembelajaran bagi anak agar kelak gemar membaca. Cerita tentang bagaimana Abu Bakar ash-Shiddiq yang menyerahkan sebagian besar hartanya untuk dakwah; juga Aburrahman bin Auf yang sangat kaya raya, namun kekayaannya disumbangkan untuk kepentingan kaum Muslim. Beliaulah yang membaktikan harta kekayaannya yang tak terkira dengan puas dan rela. Sejak keislamannya sampai meninggal dalam usia tujuh puluh lima tahun, Abdurrahman bin Auf menjadi teladan yang cemerlang sebagai seorang Mukmin yang besar. Hal ini menyebabkan Nabi saw. memasukkannya dalam sepuluh orang yang telah diberi kabar gembira sebagai ahli surga. Subhânallâh!

3. Keteladanan.

Keteladanan merupakan salah satu cara yang efektif dalam melakukan pendidikan kepada anak. Pada tahun-tahun pertama, obyek peniruan anak umumnya masih berkisar orang-orang di sekitar rumah, biasanya ayah atau ibu. Anak meniru tidak saja gerak tubuh, rasa senang dan tidak senang, kebiasaan; tetapi juga ekspresi emosional orangtua. Dalam kenyataannya, kemampuan anak dalam meniru sesuatu lebih cepat daripada yang kita bayangkan. Jika orangtua berbuat baik maka anak biasanya juga akan berbuat baik. Dalam melakukan peniruan, umumnya anak akan meniru apa yang dilakukan orangtua, bukan apa yang dikatakannya.

Seorang anak yang melihat ibu dan ayahnya shalat lima kali sehari, membaca al-Quran, berdoa kepada Allah dan berzikir, baik di waktu petang dan tengah malam, insya Allah semua itu akan terlukis pada diri anak. Dengan itu, ia akan selalu melaksanakan ajakan-ajakan yang ia dengar tiap pagi dan sore. Semakin bertambah usia anak, tidak hanya tingkah laku yang tampak saja yang akan ditirunya, tetapi juga sikap seseorang terhadap sesuatu. Oleh karena itu, orangtua harus bisa menjadi model yang baik. Jika dalam keseharian orangtua biasa memperlihatkan kepekaan serta kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan, mampu berempati, bukan tidak mungkin anak akan menirunya. Sejalan dengan perkembangannya, semua itu akan meningkatkan kemampuan anak untuk memahami berbagai macam hal, dan diharapkan peniruan ini akan menjadi sebuah kemampuan, kebiasaan yang melekat pada anak. Tunjukkan kepedulian orangtua terhadap orang-orang yang tak mampu. Komitmen yang kuat dalam membantu penderitaan orang lain insya Allah akan dapat menular kepada anak-anak.

4. Pembiasaan.

Mendidik anak pada waktu kecil ibarat mengukir di atas batu. Demikian salah satu bunyi hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Memang akan lebih mudah mengajari anak kecil daripada setelah menginjak remaja. Betapa banyak orangtua merasa kewalahan menyuruh anak remajanya membiasakan shalat lima waktu. Itulah pentingnya penanaman nilai-nilai Islam sedini mungkin, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Selain keteladanan dari orangtua, pembiasaan juga merupakan cara pembelajaran yang sangat tepat buat anak. Upaya kecil yang bisa dilakukan, misalnya, dengan membawakan bekal sekolah anak lebih dari satu, dengan pesan untuk dibagikan pada temannya yang tidak membawa bekal.

5. Berikan hadiah.

Hadiah adalah berbagai bentuk apresiasi atau penghargaan terhadap suatu prestasi. Hadiah diberikan setelah anak mencapai prestasi tertentu, bukan sebelumnya. Jadi, bukan hadiah yang diberikan agar anak mau melakukan sesuatu. Ada beberapa fungsi penting dari hadiah. Apabila anak mendapat penghargaan atas tingkah lakunya, maka ia mendapatkan pemahaman bahwa apa yang dilakukannya itu berarti. Ini yang akan membuat anak termotivasi untuk terus mengulangi.

Hadiah tidak selamanya harus dalam bentuk materi. Yang pasti, apapun bentuk hadiah ia harus sesuai dengan kebutuhan anak. Jika tidak, efektivitasnya akan hilang. Oleh karena itu, diperlukan kepekaan orang tua untuk melakukan hal ini. Bagi anak yang belum bisa memahami pembicaraan, hargai kebaikannya dengan senyuman, pelukan atau bentuk komunikasi non-verbal lainnya. Sebaliknya, bentuk non-verbal tidak terlalu efektif untuk anak-anak yang lebih besar. Anak-anak ini butuh pernyataan pujian secara verbal dan nyata. Hadiah juga dapat berupa pujian atau pengakuan. Agar pujian bisa bermanfaat, orangtua perlu melakukannya secara bijaksana. Pujian seyogyanya diberikan dalam segala suasana.

6. Ajaklah anak melihat sendiri dan mengalami kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan yang biasa ia jalani.

Ajaklah anak untuk mengunjungi tempat banyak orang susah yang berkumpul di sana. Dengan itu, mereka akan melihat ada sisi lain dari kehidupan manusia. Kita pun dapat memberi pemahaman kepada mereka dengan menjelaskan mengapa ada gelandangan yang mengais-ngais sampah, atau makan makanan yang telah dibuang ke tempat sampah, dan sebagainya. Sekali waktu anak bisa diajak ke panti asuhan, tempat bencana alam atau tempat-tempat lain yang membutuhkan uluran tangan. Selain mengajak anak langsung ke tempat-tempat seperti itu, anak juga bisa diajak melihat film-film tentang kaum muslim yang dizalimi seperti film-film perjuangan rakyat Palestina, atau penderitaan kaum Muslim di negara lainnya.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/11/10/melatih-anak-gemar-bersedekah/