Catatan seorang ibu, isteri, dan pengemban mabda-Nya

Archive for Juni, 2012

Perangkap Setan

Sahabat Abu Hurairah ra. pernah diamanati Baginda Nabi saw. untuk menjaga gandum hasil zakat. Tiba-tiba pada suatu malam ada lelaki yang mencuri gandum itu. Namun, dia berhasil ditangkap oleh Abu Hurairah ra. “Kamu akan kubawa kepada Nabi saw.,” kata Abu Hurairah ra. kepada pencuri itu.

Pencuri itu memelas. Dengan bujuk-rayunya, dia mengatakan, sudah seminggu anak dan istrinya belum makan. Abu Hurairah ra. akhirnya melepaskan pencuri itu, dan meminta dia agar tidak mencuri lagi.

Esoknya, sehabis shalat Subuh, sebelum sempat melapor, Abu Hurairah ra. justru ditanya oleh Nabi saw. “Apa yang kamu lakukan terhadap orang yang kamu tangkap tadi malam?”

Abu Hurairah ra. kemudian menjelaskan apa yang terjadi. “Ingat, nanti malam ia akan datang lagi,” kata Nabi saw.

Benar saja, malam kedua pencuri itu datang lagi. Setelah mengambil gandum, ia kembali ditangkap oleh Abu Hurairah ra. Ia memelas lagi. Kembali, Abu Hurairah ra. merasa iba sehingga pencuri itu dilepaskan lagi.

Esoknya, Nabi saw. bertanya lagi kepada Abu Hurairah ra., seperti kemarin. Abu Hurairah ra. menjawab seperti jawaban sebelumnya. Nabi saw. mengingatkan lagi, pencuri itu nanti malam akan datang lagi. Abu Hurairah ra. bergumam, “Nanti malam, dia tidak akan aku lepaskan lagi!”

Benar saja, pencuri itu datang untuk yang ketiga kalinya dan kembali mencuri gandum. Abu Hurairah ra. kembali menangkap dia. “Sekarang, aku tidak mungkin melepaskan kamu. Kamu harus aku bawa kepada Nabi saw.!”

Pencuri itu sangat cerdik. Kepada Abu Hurairah ra., ia mengatakan, “Saya siap dibawa kepada Nabi saw, tetapi bolehkah saya berbicara, wahai Abu Hurairah?”

Abu Hurairah ra. berkata, “Mau bicara apa?”

Si pencuri itu berucap, “Abu Hurairah, maukah kamu saya beri amalan zikir?”

“Tentu, amalan zikir apakah itu?” jawab Abu Hurairah ra. penasaran.

Pencuri itu berkata, “Bacalah ayat kursi sebelum engkau tidur, pasti Allah akan menjaga dirimu dari godaan setan.”

Mendengar kata-kata pencuri itu, Abu Hurairah ra. terkesima. Akhirnya, tanpa ragu, Abu Hurairah ra. kembali melepaskan pencuri itu. Esoknya, Nabi saw. bertanya seperti pertanyaan yang kemarin. Abu Hurairah ra. pun menjawab, “Pencuri tadi malam itu memberi amalan zikir kepada saya. Saya disuruh membaca ayat kursi sebelum tidur malam. Insya Allah, Allah akan menjaga saya dari gangguan setan,” jawab Abu Hurairah ra.

Nabi saw. berkata, “Apa yang dia katakan itu benar, tetapi dia itu bohong. “Tahukah kamu, wahai Abu Hurairah, siapa pencuri itu? Dia adalah setan,” kata Nabi saw.

Menurut Ali Mustafa Yaqub, kisah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari itu memberikan pelajaran bagi kita. Pertama: setan dari jenis jin dapat menjelma menjadi manusia. Kedua: setan boleh jadi menyuruh manusia untuk beribadah, membaca al-Quran, shalat, puasa, haji dan sebagainya. Abu Hurairah telah diluruskan oleh Nabi saw. agar ia tidak membaca ayat kursi karena mengikuti perintah setan, tetapi mengikuti perintah Nabi saw. Sekiranya seseorang beribadah dengan mengikuti perintah setan dan bukan perintah Allah, maka dia telah beribadah kepada setan (Republika.co.id, 21/6/2011).

*****

Setan, menurut sebagian ulama, berasal dari kata syathana; maknanya adalah ba’uda, yakni jauh. Maksudnya, setan adalah sosok yang jauh dari segala kebajikan (Ibn Katsir, I/115, Az-Zamakhsyari, I/39). Setan juga berarti sosok yang jauh dan berpaling dari kebenaran. Karena itu, siapa saja yang berpaling dan menentang (kebenaran), baik dari golongan jin ataupun manusia, adalah setan (Al-Qurthubi, I/90, al-Alusi, I/166).

Allah SWT telah memperingatkan bahwa setan adalah musuh yang nyata (‘aduww[un] mubin) bagi manusia (QS al-Baqarah [2]: 168); permusuhannya terhadap manusia benar-benar ‘terang-benderang’ (Lihat: Al-Baqa’i, I/240, Ibn Katsir, III/351). Karena itu, Allah SWT pun telah memperingatkan agar manusia benar-benar memperlakukan setan sebagai musuh (QS Fathir [35]: 6).

Persoalannya, setan amatlah cerdik, sebagaimana terungkap dalam kisah di atas. Setan boleh jadi tidak menghalang-halangi manusia dari ibadah kepada Allah SWT dan amalan yang baik, tetapi setan menyimpangkan niat manusia beribadah atau beramal baik sehingga bukan karena Allah SWT. Boleh jadi pula setan menjadikan manusia ikhlas beramal karena Allah SWT, tetapi setan berupaya agar manusia beramal tidak sesuai dengan tuntunan Rasul-Nya.

Di dalam bukunya yang amat terkenal, Talbis Iblis (Tipudaya Iblis), Ibn al-Jauzi secara panjang lebar mengungkapkan bagaimana sepak terjang setan dalam memperdaya manusia; termasuk di dalamnya para ahli ibadah, para pembaca al-Quran, para ahli hadis, para ulama fikih, juga para pengemban dakwah.

Menurut Ibn al-Jauzi, setidaknya ada enam langkah setan dalam menjerat manusia. Pertama: berusaha menjadikan manusia kafir atau musyrik.Kedua: Jika gagal, berusaha menjadikan mereka yang Muslim sebagai pelaku bid’ahKetiga: Jika gagal, berusaha menjadikan mereka tukang maksiat/pelaku dosa besar. Keempat: Jika gagal, berusaha agar mereka banyak melakukan dosa-dosa kecil. Kelima: Jika gagal,berusaha menyibukkanmereka dalam masalah-masalah yang mubah (yang tidak bermanfaat dan tidak berpahala).Keenam:Jika gagal juga, berusaha menyibukkan mereka dengan urusan-urusan sederhana sehingga mereka melupakan berbagai urusan yang lebih utama; misalnya menyibukkan diri dengan amalan sunnah, tetapi meninggalkan amalan wajib.

Semua langkah setan itu, menurut Ibn al-Jauzi, diikuti dengan berbagai cara yang sering amat halus dan lembut sehingga tidak banyak disadari oleh manusia.

Perangkap setan ini juga sering tak disadari oleh banyak pengemban dakwah. Jika dakwah mulai tak semangat, halaqah sering telat, infak suka terlambat, salat malam banyak terlewat, membaca al-Quran mulai bosan, menuntut ilmu terasa jemu, dst; maka ingatlah bahwa saat itu berarti kita sudah terkena perangkap setan. Demikian pula jika kita mulai sering disibukkan oleh urusan ma’isyah hingga sering melalaikan urusan dakwah; atau kita telah merasa menjadi pengemban dakwah hanya karena sudah resmi menjadi bagian dari harakah dakwah, padahal kegiatan setiap minggunya cuma halaqah dan membaca buletin dakwah. Sadarlah, bahwa saat demikian sesungguhnya kita pun sudah berada dalam perangkap setan!

Wama tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/03/05/perangkap-setan/

Memadukan Ilmu dan Amal

Ibnu Bathah  menuturkan sebuah riwayat dari Masruq, dari Abdullah yang berkata, “Sesungguhnya kalian berada pada suatu zaman yang di dalamnya beramal adalah lebih baik daripada berpendapat. Kelak akan datang suatu zaman yang di dalamnya berpendapat lebih baik daripada beramal.” (Ibn Baththah, Al-Ibanah al-Kubra, I/207).

Ath-Thabrani juga meriwayatkan sebuah hadis dari penuturan al-’Ala bin al-Harits, dari Hizam bin Hakim bin Hizam, dari ayahnya, dari Baginda Nabi Muhammad saw. yang bersabda, “Kalian benar-benar berada pada suatu zaman yang di dalamnya banyak sekali fuqaha dan sedikit sekali para ahli pidato…Pada zaman ini amal adalah lebih baik daripada ilmu. Kelak akan datang suatu zaman yang di dalamnya sedikit sekali fuqaha dan banyak para ahli pidato…Pada zaman ini ilmu lebih baik daripada amal.” (Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir III/236)

Dari kedua hadis di atas setidaknya dapat dipahami bahwa pada zaman yang pertama (yakni generasi Sahabat Nabi saw.) kebanyakan orang memahami Islam secara mendalam. Karena itu, yang dibutuhkan saat itu adalah mengamalkan apa yang telah dipahami. Sebaliknya, pada zaman yang kedua-kemungkinan adalah zaman kita hari ini-saat orang-orang yang memahami Islam secara mendalam sangat sedikit maka banyak orang yang beramal tanpa ilmu. Karena itu, pada zaman kini memahami dan mendalami Islam-yang kemudian diamalkan-tentu lebih penting daripada beramal tanpa didasarkan pada ilmu.

Kesimpulan ini setidaknya sesuai dengan makna riwayat yang diungkapkan oleh Imam Malik saat menuturkan hadis penuturan Yahya bin Said yang berkata bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada seseorang, “Sesungguhnya engkau berada pada suatu zaman yang di dalamnya banyak para fuqaha dan sedikit para pembaca al-Quran yang menjaga hukum-hukumnya dan tidak terlalu fokus pada huruf-hurufnya…Kelak akan datang kepada manusia suatu zaman yang di dalamnya sedikit para fuqaha dan banyak para pembaca al-Qurannya yang menjaga huruf-hurufnya tetapi mengabaikan hukum-hukumnya.” (Imam Malik, Al-Muwaththa’, II/44).

Dari hadis ini setidaknya dapat dipahami tiga perkara. Pertama: Ibn Mas’ud tidak bermaksud menyatakan orang-orang yang membaca al-Quran pada zamannya sedikit. Namun, yang beliau maksud bahwa orang-orang yang membaca al-Quran pada zamannya-yang perhatiannya hanya pada bacaan tanpa memperhatikan hukum-hukumnya-amatlah sedikit. Dengan kata lain, pada zaman Sahabat Nabi saw. orang-orang biasa membaca al-Quran sekaligus memahami dan mengamalkan hukum-hukumnya, dan tidak memokuskan perhatiannya pada huruf-hurufnya, karena memang al-Quran adalah bahasa mereka. Sebaliknya, pada zaman kini-zaman yang mungkin diisyaratkan dalam hadis ini oleh Ibn Mas’ud-banyak orang membaca al-Quran hanya fokus pada bacaan (huruf-huruf)-nya saja, tetapi tidak memahami apalagi mengamalkan hukum-hukumnya.

Kedua: Akan datang suatu zaman-yang tentu berbeda dengan zaman Ibn Mas’ud alias zaman Sahabat Nabi saw.-yang di dalamnya sedikit para fuqaha (ahli fikih). Maksudnya, pada zaman itu-boleh jadi zaman kita hari ini-orang-orang yang memahami Islam secara mendalam amatlah sedikit. Kebanyakan mereka adalah yang bisa dan biasa membaca al-Quran tetapi tidak memahami isinya secara mendalam. Tentu hadis ini tidak sedang mencela para pembaca dan penghapal al-Quran. Yang dicela adalah sedikitnya para fuqaha dari kalangan mereka karena tujuan akhir mereka sebatas membaca dan menghapal al-Quran, bukan memahami isinya apalagi mengamalkan dan menerapkan hukum-hukumnya.

Ketiga: Akan datang suatu zaman yang di dalamnya huruf-huruf al-Quran benar-benar dijaga, tetapi hukum-hukumnya ditelantarkan. Maknanya, para pemelihara mushaf al-Quran jumlahnya banyak. Namun, kebanyakan mereka tidak memahami isi al-Quran itu. Tidak pula pada saat itu-yang sesungguhnya telah terjadi pada zaman kini-manusia dipimpin oleh imam atau para penguasa yang menerapkan al-Quran di tengah-tengah mereka. Akibatnya, hukum-hukum al-Quran ditelantarkan. Ini jelas bertentangan dengan zaman Sahabat Nabi saw. saat manusia dipimpin oleh para pemimpin yang berhukum dengan al-Quran dan menerapkan al-Quran kepada mereka (Lihat: Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’, I/429).

Alhasil, pesan inti dari hadis di atas sesungguhnya adalah: Pertama, dorongan kepada setiap Muslim untuk membaca dan memahami al-Quran atau mendalami Islam. Kedua, mengamalkan isi al-Quran termasuk berusaha terus mendorong para penguasa untuk menerapkan hukum-hukumnya (syariah Islam) di tengah-tengah masyarakat.

Inilah wujud nyata dari sikap memadukan ilmu dan amal. Sudahkah kita melakukannya? WalLahu a’lam bi ash-shawab. [] abi

 

http://www.hidupberkah.com/slide-news/memadukan-ilmu-dan-amal/

Tamak Merusak Hidup Berkah

Imam Ali ra. pernah berkata, “Ada dua jenis manusia tamak yang tidak akan pernah merasa puas: pemburu ilmu dan pemburu harta.” Karena ketamakannya, kedua jenis manusia ini selalu ingin dan selalu berusaha untuk terus menambah apa yang telah mereka raih.

Tentu terpuji seorang Muslim yang tamak terhadap ilmu. Muslim seperti ini senantiasa menginginkan derajat yang tinggi di sisi Allah melalui pencariannya terhadap ilmu. Ia sangat sadar akan firman Allah Swt. (yang artinya): Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kalian beberapa derajat (QS al-Mujadilah [58]: 11).

Itulah yang selalu dilakukan oleh para ulama Islam pada masa lalu, khususnya pada masa kegemilangan Islam di era Kekhilafahan Islam, selama berabad-abad. Begitu tamaknya terhadap ilmu, tanpa mengenal lelah, para ulama dulu tidak jarang menyusuri berbagai negeri, meski mereka sering harus berjalan kaki bermil-mil jaraknya. Wajar jika pada masa itu, ulama yang mumpuni dengan keilmuannya luar biasa banyaknya. Sebagian mereka banyak yang menjadi mujtahid dan menguasai banyak cabang ilmu.

Para ulama itu pun selalu memanfaatkan segala kesempatan dan waktu luang untuk mengkaji Islam guna ikut memecahkan problem kehidupan umat manusia. Imam Syafii hanyalah salah satu contohnya.

Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa Imam Syafii pernah bermalam di rumah Imam Malik, gurunya. Saat itu nama Imam Syafii sudah dikenal luas keulamaan dan kesalihannya hingga mengalahkan ketenaran Imam Malik. Penasaran dengan itu, putra Imam Malik mencoba mencari tahu mengapa pamor Imam Syafii nyaris mengalahkan ayahnya, Imam Malik.

Kesempatan pun datang. Saat Imam Syafii bermalam di rumah ayahnya, dan sudah masuk ke peraduannya, diam-diam putra Imam Malik ‘mengintip’ bilik kamar Imam Syafii. Berjam-jam ia mengamati Imam Syafii. Namun, yang ia saksikan hanyalah pemandangan biasa. Imam Syafii hanya tiduran di atas dipannya. Kedua telapak tangannya ia taruh di bawah kepalanya. Lalu pandangan matanya tertuju ke langit-langit kamarnya. Hanya itu yang dilakukan Imam Syafii hingga waktu subuh tiba. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada aktivitas membaca/mengkaji kitab atau menulis. Bahkan malam itu tidak ada salat malam yang dilakukan Imam Syafii, sebagaimana yang setiap malam dilakukan oleh Imam Malik, ayahnya. Demikian pikir putra Imam Malik.

Setelah salat subuh, putra Imam Malik menemui ayahnya, dan berkata, “Ayah, saya heran dengan Imam Syafii. Semua orang sepertinya mengagumi keulamaan dan kesalihannya. Ketenaran beliau bahkan sepertinya mengalahkan pamor ayah. Padahal semalaman saya mengamati beliau di kamarnya, tak ada sesuatu yang luar biasa yang beliau lakukan. Bahkan tidak ada salat tahajud seperti yang ayah lakukan setiap malam.”

Mendengar itu, sambil tersenyum Imam Malik menggandeng putranya untuk menemui Imam Syafii. Beliau kemudian bertanya kepada Imam Syafii tentang apa yang dilakukannya semalaman. Imam Syafii menjawab, “Alhamdulillah, semalam, baru saja saya berhasil memecahkan sekaligus meng-istinbâth hukum dalam 15 macam persoalan yang dibutuhkan umat.”

Demikianlah Imam Syafii. Kegiatan keilmuan sepertinya tidak pernah lepas dari setiap napas kehidupan beliau, sekalipun sering menyita waktu tidur dan istirahatnya.

*****

Jika tamak terhadap ilmu sangat terpuji, bagaimana dengan tamak terhadap harta? Tentu tercela. Ketamakan terhadap harta hanya akan menghasilkan sifat buas, laksana serigala yang terus mengejar dan memangsa buruannya, walaupun harta itu bukan haknya. Secara fitrah, manusia memang sangat mencintai harta-kekayaan dan berhasrat keras mendapatkannya sebanyak mungkin dengan segala cara. Allah Swt. berfirman (yang artinya): Katakanlah (Muhammad), “Seandainya kalian menguasai semua perbendaharaan rahmat Tuhan, niscaya perbendaharaan (kekayaan) itu kalian tahan (simpan) karena takut menginfakkannya (mengeluarkannya). Manusia itu memang sangat kikir.” (QS al-Isra’ [17]: 100).

Demikian Allah menggambarkan sikap tamak para pencari harta. Kisah tentang Qarun, yang diabadikan dalam al-Quran, hanyalah salah satu contohnya. Bagaimana ketamakan Qarun terhadap harta telah menjadikannya lupa bersyukur kepada Allah, bahkan kufur terhadap-Nya. Akibatnya, Allah membenamkan Qarun bersama seluruh harta yang ia bangga-banggakan ke dalam bumi (QS al-Qashash [28]: 76-81).

Anehnya, ‘Qarun-Qarun’ lain terus bermunculan hingga hari ini. Pada sebagian orang (pada sebagian pejabat dan wakil rakyat, sekadar contoh), sifat tamak demikian menonjol. Walau rata-rata mereka sudah kaya-raya, gaji mereka pun sebagai pejabat/wakil rakyat sudah sangat tinggi, korupsi tetap mereka jalani; suap tetap mereka terima; dan cara-cara haram untuk mengeruk kekayaan tetap mereka upayakan. Bahkan keinginan untuk tetap berkuasa—melalui Pemilu atau Pilkada—terus mereka perjuangkan meski harus mengeluarkan dana miliaran rupiah sebagai ‘modal’. Dengan itu, mereka berharap, saat mereka menjadi pejabat atau wakil rakyat, mereka tetap bisa terus menumpuk-numpuk harta-kekayaan; tak peduli halal-haram.

Padahal, sekalipun seseorang kaya-raya, tetap hanya beberapa suap saja makanan yang bisa masuk ke dalam perutnya. Selebihnya, sebesar dan sebanyak apapun hartanya, ia tak akan pernah bisa membawanya saat ia mati dan dimasukkan ke liang lahat. Hati-hatilah dengan sikap tamak.

Karena itu, ada baiknya kita merenungkan kembali petuah Rasulullah saw. Sebagaimana dituturkan Mutharif, ayahnya pernah menemui Rasulullah saw. Saat itu Beliau sedang membaca surah “Alhâkumut-takâtsur”. Beliau kemudian bersabda, “Anak Adam selalu saja berseru, ‘Hartaku! Hartaku!’ Apakah kamu tidak sadar, bahwa hanya tiga hal saja yang menjadi milikmu: (1) apa yang kamu makan sampai habis; (2) apa yang kamu pakai hingga rusak; (3) apa yang kamu sedekahkan dan tetap kekal (dengan mendapat pahala di sisi Allah).” (HR Muslim).

Wamâ tawfîqi illâ billâh[Arief B. Iskandar]

Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/03/tamak/

Gambar Jilbab Sesuai Syar’i

GAMBAR JILBAB SESUAI SYAR’I (AL QURAN DAN AS SUNNAH)

Kita menjadi ASING karena prinsip hidup kita.

Jujur itu ASING karena banyak orang berdusta.

Shadaqah itu ASING karena bayak orang pelit.

Berjilbab itu ASING Karena banyak orang yang telanjang.

Tidak pacaran itu ASING karena banyak orang yang pacaran.

Yakin pada Allah itu ASING Karena banyak orang yang tidak percaya lagi pada-Nya.

Mewujudkan SYARI’AH dan KHILAFAH Islam itu ASING karena banyak orang yang lebih percaya pada hukum buatan manusia.

===========================================

“Islam mulai muncul dalam keadaan ASING dan akan kembali ASING sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. (HR. Muslim)

“Berbahagialah orang-orang yang ASING.” Siapakah orang-orang ASING itu wahai Rasulullah? “Yaitu orang-orang yang senantiasa melakukan perbaikan disaat kebanyakan orang berbuat kerusakan” (HR. Muslim)

Satu Kisah Banyak Hikmah

Satu Kisah Banyak Hikmah

Oleh : Agus Trisa

Ada sebuah kisah yang sangat terkenal yang dituturkan oleh Abu Hurairah ra. Kisah ini bermula ketika ada seorang Muhajirin datang kepada Rasulullah saw., lalu ia berkata, “Ya Rasulullah. Sungguh, saya sangat lapar sekali.” Mendengar hal tersebut, Rasulullah segera membawa orang itu kepada salah seorang istri beliau agar ia memberinya makan. Tetapi istri beliau berkata, “Demi Zat yang mengutusmu dengan haq. Kita tidak memilki apapun kecuali air.”

Lalu Rasulullah saw. membawa orang itu kepada istrinya yang lain, dan ternyata jawabannya sama. Beliau kemudian membawa orang itu kepada istri-istri beliau yang lainnya lagi. Namun jawaban mereka sama saja. Akhirnya beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Siapa saja yang sanggup menjamu tamu ini pada malam ini, Allah pasti merahmatinya.” Seseorang dari kalangan Anshar lalu berdiri seraya berkata, “Saya ya Rasulullah.”

Orang Anshar itu kemudian membawa tamunya ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada istriya, “Kita kedatangan tamu malam ini. Apakah engkau punya makanan?” Istrinya menjawab, “Tidak. Kita tidak memiliki makanan, kecuali sedikit. Itu pun untuk anak-anak kita.” Lelaki Anshar itu kemudian berkata kepada istrinya, “Kalau begitu, tidurkanlah mereka. Hidangkanlah makanan itu untuk tamu kita. Jika ia sudah masuk rumah, matikan lampu, sementara aku akan berpura-pura sedang makan.” Dalam kegelapan, tamu itu masuk dan dipersilahkan makan makanan yang tidak seberapa sedangkan tuan rumahnya berpura-pura makan.

Keesokan harinya, Rasulullah saw. bersabda kepada suami istri itu, “Sungguh, Allah sangat mengagumi kalian berdua karena perilaku kalian tadi malam dalam menjamu tamu kalian.”

Kisah di atas memberikan kita beberapa ibrah (pelajaran) yang sangat penting.

Pertama,

kita bisa melihat bahwa sesungguhnya keluarga Rasulullah bukanlah sebuah keluarga yang memiliki tingkat perekonomian menengah ke atas. Dalam banyak riwayat, seringkali kita mendapati Rasulullah ‘shaum’ karena seringnya beliau tidak menemukan sesuatu untuk dimakan. Tetapi yang sangat menakjubkan, di tengah kesederhanaannya itu Rasulullah tetap memperhatikan orang lain. Kesederhanaan yang dimiliki beliau tidak menghalanginya untuk berbuat baik terhadap kaum muslim. Ini menjadi suatu keteladanan yang sangat baik bagi setiap muslim bahwa untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, tidak memerlukan banyak materi. Bahkan Rasulullah telah memberikan rasa perhatian terhadap tamunya, walaupun pada saat itu beliau dan keluarganya tidak memiliki makanan. Justru hal ini membuktikan bagi kita, bahwa perbuatan baik (beramal salih) sama sekali tidak terkait dan tidak berhubungan sama sekali dengan materi.

Kedua,

sikap yang ditunjukkan sahabat Anshar dalam menolong orang Muhajirin itu adalah sikap mengutamakan orang lain. Sedikit makanan yang akan diperuntukkan bagi anak-anaknya, diberikannya kepada orang Muhajirin tersebut tanpa rasa ragu. Pengorbanannya kepada saudara seiman sangat tinggi sehingga menumbuhkan kekuatan di dalam diri. Kerelaan dan kemauan untuk berkorban terhadap saudara seiman itulah dapat menjadi tali penguat ukhuwah antara satu mukmin dengan mukmin yang lain. Sikap rela berkorban inilah yang harus ditumbuhkembangkan di antara sesama muslim, sesama pejuang Islam. Ketika kita menyaksikan saudara kita sedang kesusahan, hendaknya kita rela berkorban untuk meringankan bebannya, walaupun saat itu kita juga dalam kondisi yang tidak lapang. Sungguh, pengorbanan tidak memandang lapang sempitnya seseorang.

Ketiga,

pelajaran bagi sebuah keluarga. Kita tahu bahwa sahabat Anshar itu adalah orang yang sudah berkeluarga, memiliki istri dan anak-anak. Mereka hidup dalam kondisi yang cukup sulit. Tetapi, dari sana kita bisa melihat bahwa kerelaan dan pengorbanan yang ditunjukkan seorang istri atas perintah suaminya, juga sangat besar. Kita tentu sudah bisa melihat bersama, bahwa sahabat Anshar itu benar-benar mendidik keluarganya untuk taat pada Islam dalam segala kondisinya, suka atau tidak suka, sempit atau lapang. Sahabat Anshar itu benar-benar bisa mendidik istrinya menjadi seorang muslimah berkepribadian Islam. Pola pikirnya Islami, tidak berpikir tentang materi. Demikian pula pola sikapnya, benar-benar menunjukkan keikhlasan. Sungguh, sahabat Anshar itu benar-benar telah mendidik keluarganya menjadi keluarga yang dilingkupi kepribadian yang Islam. Dan sungguh beruntunglah istri sahabat Anshar itu. Dia benar-benar seorang wanita muslimah yang berakhlak Islami.

Keempat,

bersegera dalam melaksanakan perintah Allah. Kisah di atas juga menunjukkan kepada kita tentang ketaatan seorang muslim terhadap syariat Islam. Ketaatan seorang muslim benar-benar terpancar dari pola sikap sahabat Anshar tersebut. Dia melaksanakan seruan (perintah) Rasulullah tanpa rasa ragu sedikit pun, walaupun saat itu dia berada dalam kondisi yang sempit. Tetapi sungguh, jiwanya benar-benar lapang. Ketika Rasulullah melaksanakan satu perintah, kemudian dia bersama istrinya langsung menyambut seruan itu tanpa keraguan sedikit pun. Subhanallah…

Demikianlah,sebuah kisah yang sangat banyak pelajaran terkandung di dalamnya. Dengan menghayati kisah di atas, niscaya sendi-sendi keimanan akan benar-benar tegak di dalam diri setiap muslim. Tidak perlu harta yang banyak untuk bisa menjadi baik. Tetapi keimanan itulah modal utama seseorang untuk bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

http://www.facebook.com/MuslimahRinduKhilafah.

Sebuah Kisah Dari Dua Negara

Sebuah Kisah dari Dua Negara

Aku seorang wanita Muslim dan tinggal di Inggris. Aku tinggal di sebuah rumah besar yang menghadap taman dengan danau yang dihuni bebek dan angsa. Sangat tenang dan damai. Sangat menyenangkan ketika membuka tirai setiap pagi. Terlepas dari kenyataan hujan di sini cukup sering, kehidupan di sini sangat nyaman. Kami bekerja, kami beristirahat dan kami bermain.

Ambil saja penerbangan 5 jam ke Timur Tengah dan di Suriah khususnya, maka kehidupan di sana akan jauh berbeda. Bahkan kadang-kadang aku merasa sulit untuk menerima bahwa di zaman ini terdapat suatu realitas yang sangat berbeda denganku.

Langit berwarna abu-abu, dengan asap, suara jeritan dan bau mayat yang mengisi udara. Jalan-jalan berlumuran darah. Orang-orang tidur di malam hari dan tidak berharap melihat keesokan hari. Suara menakutkan dari serangan, tembakan, tank traktor jalan melalui desa-desa dan preman menerobos masuk ke rumah adalah hal yang biasa.

Keberanian musim semi Arab pertama dituangkan ke Suriah kembali pada Maret 2011. Panggilan untuk menumbangkan Presiden Assad dan implementasi sistem Islam telah menumbuhkan kekuatan demi kekuatan. Tapi sejak itu dunia juga menyaksikan respon menghebohkan dan tanpa ampun dari rezim Alawit dan pendukungnya.

Kegembiraan Kehidupan Keluarga

Aku sudah menikah dan suamiku memiliki pekerjaan yang mapan. Dia bekerja dari rumah hampir sepanjang waktu. Kami sarapan, makan siang dan makan malam bersama. Aku bisa memanggilnya untuk belanja saat istirahat makan siang dan mengisi mobil dengan bensin (sebenarnya aku bisa menghitung dengan satu tangan, berapa kali aku harus pergi ke pom bensin sejak menikah).

Sementara aku mungkin sering mengeluh bahwa suamiku harus keluar lagi malam ini, banyak perempuan di Suriah tidak akan pernah melihat suami, ayah, saudara dan anak-anak mereka. Orang-orang telah ditangkap, disiksa dan dibunuh secara brutal.

Anggota keluarga yang tetap hidup sering dapat hanya bertemu secara rahasia, karena takut tertangkap oleh pasukan keamanan dan diinterogasi. Tapi, ini pasti orang-orang yang beruntung.

Hanya seminggu yang lalu, di tempat yang disebut Houla, 20 km di utara Homs, segalanya berubah menjadi semakin buruk lagi. Tepat setelah shalat Jumat, tentara disambut demonstran dengan tembakan yang dihujamkan terus menerus, kemudian dilanjutkan dengan penggerebekan rumah. Mereka yang selamat dari penembakan selama aksi protes berkumpul di rumah mereka, ditembak di kepala atau di leher mereka.

Abdul Rahman Abdul Razzaq kehilangan istrinya, 5 anak perempuan dan 11 anak mereka, serta 6 anak perempuan dalam hukuman dan 4 putranya. 27 anggota keluarganya semua dibunuh di rumah mereka sendiri dalam beberapa menit. Sebagai seorang anak, aku ingat saat rumah kami dirampok dan kami merasakan ketakutan selama berhari-hari saat tidur malam. Bahkan orang tuaku mengalami trauma selama bertahun-tahun. Namun ini tidak sama dengan apa yang sudah orang ini rasakan dan apa yang dia harus rasakan saat ini. Sakit, ketidakberdayaan dan keputusasaan yang ia rasakan benar-benar memilukan.

Anak-anak

Aku memiliki 3 anak perempuan cantik berusia 5 tahun, 3 tahun dan 9 bulan. Yang tertua saat ini sedang belajar bagaimana membaca Al Quran, menaklukkan sejumlah matematika sederhana dan menulis kalimat. Setiap minggu ia pulang dengan sertifikat penghargaan. Besok dia pergi dalam perjalanan sekolah pertama dan dia sangat bersemangat sampai-sampai dia tidak mau tidur. Anakku yang berumur 3 tahun sedang berlatih belajar toilet dan menjadi lebih lebih mandiri. Lalu ada bayi cantikku, dia memiliki gigi pertamanya yang gemerlap dengan senyumnya yang nakal. Dia mengucapkan kata-kata pertamanya dan kami mencair setiap kali ia mengatakan ‘ayah’ atau ‘mama’.

Anak-anak di Suriah tidak bermain seperti anak-anakku atau anak-anak Anda. Mereka tidak pulang dari sekolah dengan sertifikat penghargaan untuk dapat menulis kalimat atau mengatasi ketakutan mereka. Dan mereka tidak pergi pada kunjungan sekolah serta kembali ke rumah dengan bersemangat untuk berbagi cerita tentang petualangan mereka. Ke-14 anak yang menunjukkan keberanian besar untuk menuliskan “Rakyat Menginginkan Kejatuhan Rezim” di kapal akhirnya ditangkap dan disiksa dengan kejam.

Lebih dari 200 anak telah tewas dan lebih dari 230 anak telah ditahan sejak awal pemberontakan. 7 tahun usia Julnar adalah usia yang sama seperti keponakanku dan anak temanku. Dia ditembak oleh penembak jitu saat ia meneriakkan “Allahu Akbar” dengan ibunya dari jendela kamar tidur. 13 tahun usia Hamza al Khatib adalah usia yang sama seperti keponakan remajaku, cucu pertama orang tuaku. Hamza hilang selama demonstrasi di dekat Deraa, tubuhnya kembali sebulan kemudian dalam keadaan luka-luka, memar dan luka bakar.

Dari korban Houla dilaporkan bahwa 49 orang adalah anak-anak di bawah usia 10 tahun. Anakku mencintai warna merah muda, kupikir kebanyakan perempuan juga demikian, dan mereka suka melakukan percobaan dengan jilbab. Seorang gadis dengan usia hampir 7 tahun, mengenakan jilbab dan sabuk diamonte merah muda ditemukan tewas di lantai, matanya masih terbuka dan menunjukkan kengeriannya. Seorang anak berusia 11 tahun memalsukan kematiannya sendiri, mengolesi tubuhnya dengan darah saudaranya agar tampak seperti orang mati. Beberapa laporan menunjukkan bahwa korban termasuk bahkan bayi yang masih berumur 8 bulan. Satu ditemukan masih dengan boneka di mulutnya. Dia hanya beberapa minggu lebih muda dari bayi perempuan saya, yang menerangi rumah tangga kami.

Ini adalah adegan yang mengerikan. Setelah bertahan 9 bulan kehamilan, kepedihan melahirkan, sukacita melihat anak-anak tumbuh; ibu tidak pernah ingin membayangkan atau mendengar, apalagi menyaksikan kekejaman seperti itu. Gambar-gambar dan video sangat keras dan hampir tak tertahankan.

Martabat dan Kehormatan Wanita

Musim panas telah resmi dimulai di sini, dan beberapa hari terakhir kami sudah menikmati sinar matahari yang menyenangkan. Aku perlu mencari semua jilbab musim panas dan menyetrikanya. Lalu aku harus pergi belanja jilbab, dengan motif harimau dan motif bunga dari berbagai warna yang ada saat ini dan bahan yang cukup tipis untuk dipakai di musim panas ini.

Tapi sementara aku sibuk mencocokkan hijab untuk jilbab dan sebaliknya; para wanita di Suriah sedang dilucuti martabat dan kehormatan mereka. Aku sering menegur anakku ketika mereka kadang-kadang menarik-narik Jilbabku atau jilbab di depan umum, takut mereka menampakkan auratku. Betapa memalukan dan bagaimana malunya perempuan dan anak perempuan Suriah ketika mereka dipukuli dan dipaksa untuk melepas hijab mereka? Dalam satu insiden dilaporkan bahwa istri-istri aktivis ditelanjangi dan dipaksa untuk parade di jalan-jalan kota mereka sampai para suami mereka menyerahkan diri mereka ke tangan pemerintah. Saya tidak dapat membayangkan kekacauan dan kehancuran karena dipaksa untuk memilih antara kehidupan suamiku ataukah kesopanan dan kehormatanku.

Preman Assad bahkan telah memanfaatkan perkosaan sebagai senjata dalam usaha mereka untuk melemahkan semangat oposisi dan membungkam suara-suara yang menentangnya. Wanita yang telah dinodai oleh musuh lebih baik mati, daripada menyembunyikan wajah mereka karena malu untuk sisa hidup mereka. Nasib Salma membuat aku menutup mata dan membuat isi perutku serasa diaduk-aduk. Ayahnya diikat ke kursi di rumahnya sendiri dan dipaksa untuk menyaksikan tiga atau empat pria memerkosa putri tercintanya.

Sebuah Contoh Baik Akan Kesabaran, Keberanian dan Tekad

Allah (swt) mengatakan dalam QS. al Baqarah: 155-157
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”

Rakyat Suriah adalah contoh terbaik akan kesabaran, keberanian dan tekad. Saya melihat keberanian mereka dalam menghadapi kematian dan saya mendengar nyanyian tulus dari “Ya Allah mallna Ghairak ya Allah” (Ya Allah kami tidak memiliki siapapun kecuali Engkau) dan “Labaik Allahumma Labaik” (Kami memenuhi dan akan melaksanakan perintah-Mu ya Allah.). Seperti nyanyian bersama suara keras tembakan, aku tahu bahwa jalan menuju jannah telah jelas terukir di depan mereka. Mereka telah berjuang dengan semua yang mereka punya, dengan ketabahan mereka, hanya demi dien Allah yang harus diegakkan di tengah-tengah umat. Dalam kehidupan yang kekal, mereka akan diberi pahala dan dibesarkan dengan para syuhada, orang-orang seperti Hamzah bin Abdil Muttallib dan berada bersama para nabi. Mereka tidak membutuhkan apapun lagi.

Namun, ketika aku memikirkan hidupku dan semua kehidupan kita di sini, aku sering teringat hadits di mana Nabi (saw) mengatakan:

“Surga dikelilingi oleh kesulitan dan neraka dikelilingi oleh godaan”. [Muslim]

Aku ingin tahu apa sebenarnya jalanku menuju jannah? Jalan kami menuju jannah? Akankah kemudahan tinggal di sini, kenyamanan dan kemewahan menjadi prioritas kami dan gangguan, dan karenanya menjadi godaan yang membawa kita semua melupakan nasib umat?

Respon Kita Seharusnya

Peristiwa di Suriah tidak dimaksudkan hanya untuk menyalakan emosi kita saja. Aku yakin mereka tidak bermaksud membuat kita menghela napas lega bahwa peristiwa itu tidak menimpa kita. Dan kita tentu tidak bermaksud untuk terinspirasi berpaling dan ‘membuat sebagian besar hidup kita’ hanya diisi dengan terus terjebak dalam hal-rutinitas kita sehari-hari, menikmati surga Dunia.

Kita perlu mempertanyakan diri kita sendiri dan mengevaluasi ulang kehidupan kita. Apakah kita benar-benar khawatir tentang nasib orang-orang di Suriah? Dan kita merasa sakit? Lebih penting lagi, apa sebenarnya yang harus kita lakukan untuk hal itu? Apakah benar? Dan apakah itu cukup? Pertanyaan-pertanyaan ini penting bagi kita masing-masing.

Kita Adalah Satu Umat

Nabi (saw) mendefinisikan apa hubungan kita dengan umat Islam lainnya.

Dalam satu hadits beliau melihat kepada kami bahwa:”Orang-orang yang beriman, mereka saling belas kasih, cinta dan kasih sayang antar sesama mereka, seperti satu tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka angota tubuh lainnya juga akan merasakan sakit.” [Bukhari & Muslim]

Dan dalam hadis lain beliau (saw) menjelaskan:”Orang berimana kepada orang beriman lainnya adalah seperti sebuah bangunan yang kokoh, satu bagian mendukung yang lain.” [HR Bukhari & Muslim]

Menjaga umat di Suriah dan di tempat lain adalah kewajiban atas setiap muslim. Umat ini adalah satu tubuh, tidak peduli apakah kita hidup di pinggiran kota rimbun Kensington, daerah kumuh Dhaka atau desa-desa dekat Damaskus. Meskipun kita semua tidak nyaman dan terganggu oleh berita dan gambar-gambar yang sampai kepada kita, gravitasi dari situasi di Suriah mengharuskan bagi kita untuk bergerak melampaui sensasi sederhana ini.

Sama seperti sakit gigi parah dan mengganggu kita yang mendorong kita untuk mencari pengobatan sesegera mungkin dan lengkap kemudian mengambil obat penghilang rasa sakit dan mengunjungi dokter gigi, keyakinan kita kepada Allah SWT juga harus memaksa kita untuk mengambil tindakan terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara kita.

Allah SWT Mewajibkan Kita untuk Membantu Saudara-Saudara Kita.

Dia (swt) berfirman dalam Surah At Taubah : 71
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kita tidak harus menjadi terbiasa dengan adegan mengerikan pada PC dan layar TV kita dan akhirnya hanya berpaling. Kita tidak boleh gagal dengan terlibat dalam tindakan emosional, hanya untuk membebaskan diri dari setiap rasa bersalah yang kita alami.

Nabi (SAW) berkata;”Barangsiapa yang telah melihat sebuah kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika ia tidak bisa maka dengan lidahnya, dan jika ia tidak bisa maka dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemahnya Iman.” [Muslim]

Di sini, di Inggris dan di bagian lain benua Barat, kita memiliki kesempatan yang tidak dimiliki oleh saudara-saudara kita di Suriah dan bagian lain dari dunia Muslim. Kami tidak akan ditangkap jika melihat dengan video iphone, kami bebas berbagi atau berkomentar di Youtube, Facebook dan Twitter. Kami tidak memiliki risiko ditembak atau digorok lehernya jika menghadiri demonstrasi. Kami juga tidak akan dikurung dan berulang kali diperkosa untuk berdiskusi dengan teman kami atau untuk menulis artikel.

Karena itu kita perlu mencari setiap kesempatan yang kita miliki, untuk meningkatkan kesadaran, menantang opini dan berdiri bersama-sama dengan orang-orang dari Suriah untuk memenuhi seruan mengakhiri penindasan melalui penerapan Islam.

Akhirnya, kita perlu memiliki kejelasan dalam solusi untuk masalah ini, karena jika tidak, maka usaha kita tidak akan berbuah serta penderitaan dan tirani akan terus terjadi meskipun dalam bentuk lain.

Sangat sulit untuk mengatakan, kita tidak boleh menangis untuk Suriah. Suriah hanya gejala dari masalah yang lebih besar. Kemarin kita menangis untuk Libya, Irak, Afghanistan, Kashmir dan Palestina. Besok mungkin Yordania, Pakistan dan Yaman. Air mata kita tidak akan pernah kering.

Amal kita tidak berguna bagi mereka yang sedang dibantai dan mereka yang ditembak.

Pakaian lama kita, selimut dan hijab tidak dapat mengembalikan martabat saudara kita yang telah diperkosa atau melindungi mereka yang hidup dalam ketakutan.

Hanya penghapusan menyeluruh dari sistem korup yang memungkinkan kekejaman tersebut terjadi. Kehormatan sejati, keadilan dan perlindungan bagi umat hanya akan termasyhur melalui penegakkan Khilafah.

Ini akibat ketiadaan sistem Khilafah dan kembalinya Khilafah adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan.

Semoga Allah (swt) membantu kita semua dalam perjuangan kita untuk mengakkan kembali dien-Nya di Bumi.

http://www.facebook.com/MuslimahRinduKhilafah.

Meneladani Cara Makan Rasulullah SAW

MENELADANI CARA MAKAN RASULULLAH SHALALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM

1. Ibnul Qayyim berkata: Barangsiapa yang memperhatikan makanan yang dikonsumsi Nabi, niscaya ia mengerti bahwa beliau tidak pernah memadukan menu antara SUSU dengan IKAN, atau antara SUSU dengan CUKA, atau antara DUA MAKANAN yang sama-sama MENGANDUNG UNSUR PANAS, UNSUR DINGIN, UNSUR LENGKET, UNSUR PENYEBAB SEMBELIT, UNSUR PENYEBAB MENCRET, UNSUR KERAS, atau DUA MAKANAN yang mengandung UNSUR KONTRADIKTIF, misalnya antara MAKANAN YANG MENGANDUNG UNSUR PENYEBAB SEMBELIT DENGAN YANG MENGANDUNG PENYEBAB MENCRET, ANTARA YANG MUDAH DICERNA DENGAN YANG SULIT DICERNA, ANTARA YANG DIBAKAR DENGAN YANG DIREBUS, ANTARA DAGING YANG SEGAR, DENGAN YANG SUDAH DIGARAMI DAN DIKERINGKAN, ANTARA SUSU DENGAN TELUR, DAN ANTARA DAGING DENGAN SUSU.
Beliau tidak pernah makan pada saat makanan tersebut masih sangat panas atau masakan yang dihangatkan untuk besok, makanan-makanan yang bulukan (berjamur) dan asin, seperti makanan-makanan yang DIASINKAN, DIASAMKAN, atau DIHANGUSKAN. Semua makanan ini berbahaya dan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan.

2. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam biasa melawan unsur panas pada makanan dengan unsur dingin pada makanan lain, unsur kering suatu makanan dengan unsur basah pada makanan lain, sebagaimana beliau memakan mentimun dengan ruthob (kurma matang yang belum dikeringkan), makan tamr (kurma kering) dengan minyak samin, meminum ekstrak kurma untuk melunakkan chymus (Materi semi cair, homogen, berkrim atau seperti gruel yang dihasilkan oleh pencernaan makanan oleh lambung) makanan-makanan keras. Itulah intisari makanan sehat.

3. Beliau tidak biasa minum ketika sedang makan, sehingga akan merusaknya, apalagi jika air tersebut panas atau dingin, karena itu pola makan yang buruk sekali.

4. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Rasulullah tidak pernah mencela makanan sedikitpun, jika suka, beliau memakannya, jika tidak dibiarkannya, tidak memakannya.” (HR. Bukhari : 5409, dan Muslim : 2064)

5. Beliau menyukai daging, yang paling beliau sukai adalah lengan dan bagian depan kepala kambing. Karena itu, seorang wanita Yahudi pernah meracuninya.

6. Pernah suatu ketika Rasulullah diberi daging, lantas diperlihatkan bagian lengan kepada beliau, maka beliau menyukainya. (HR. Bukhari : 5712, dan Muslim : 194)

7. Daging yang disukai Nabi adalah yang paling baik dan paling mudah dicerna oleh lambung, baik itu daging leher, lengan maupun lengan atas.

8. Beliau juga menyukai makanan-makanan manis dan madu. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu anh, ia berkata, “Nabi shalallahu ‘alaihi wassallam menyukai makanan-makanan manis dan madu.” (Shahihul Bukhari : 5614).

9. Beliau biasa makan roti dengan lauk apa saja yang beliau punya, kadang daging, kadang semangka, kadang kurma, dan kadang cuka. Beliau bersabda, “Sebaik-baik lauk adalah cuka.” (Shahih Muslim : 2052).

10. Beliau biasa makan buah-buahan hasil panen negerinya pada musimnya, beliau tidak memantangnya. Ini juga merupakan sarana paling besar untuk menjaga kesehatan.

11. Rasulullah bersabda : “Aku tidak makan sambil bersandar.” (Shahihul Bukhari : 5398)
Ada tiga cara bersandar:
a. Bersandar pada rusuk.
b. Bersila.
c. Bersandar diatas sesuatu.
Jenis pertama menyulitkan makan, karena ia menghalangi aliran makanan secara alami, menghambat kecepatan masuknya makanan ke lambung, dan menekan lambung sehingga sulit terbuka untuk makanan. Lambung akan miring, tidak tegak, sehingga makanan tidak mudah sampai kepadanya.
Adapun dua jenis lainnya merupakan gaya duduk orang-orang sombong yang bertentangan dengan jiwa kehambaan.

12. Dalam hadits Anas disebutkan, “Saya melihat Nabi shalallahu ‘alaihi wassallam duduk dengan posisi iq’a sambil memakan kurma.” (Shahih Muslim : 2044)
Beliau biasa duduk dengan posisi iq’a untuk makan, maksudnya duduk dalam posisi bertumpu pada kedua lutu, seraya memposisikan perut telapak kaki kanan, sebagai bentuk ketawadhuan kepada Rabbnya. Ini merupakan posisi paling baik pada saat makan.

13. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda : “Jika salah seorang dari kalian makan, maka janganlah ia membersihkan tangannya sebelum menjilatinya.” (Muttafaqun ‘Alaih, Bukhari : 5376, dan Muslim : 2031).

14. Beliau makan dengan menggunakan tiga jemari beliau, dan ini merupakan cara menyuap makanan yang paling bermanfaat.

15. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Wahai anak kecil! Sebutlah nama Allah (BISMILLAH), makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah makanan yang terdekat darimu.” (Muttafaqun ‘Alaih, Bukhari : 5376, dan Muslim : 2022).

Demikianlah cara makan yang paling baik adalah cara makan beliau shalallahu ‘alaihi wassallam dan cara makan siapa saja yang meniru cara beliau.

Diringkas dari kitab : KEAJAIBAN THIBBUN NABAWI

Perkara Yang Membutakan Hati

Ketahuilah, didalam tubuh manusia terdapat segumpal darah, bila gumpalan darah itu baik maka baiklah seluruh perilakunya, tapi bila gumpalan darah itu jelek, maka rusaklah seluruh perilaku manusia, ketahuilah bahwa gumpalan darah adalah HATI.

#change coz Alloh, not coz someone..
change because the process of thinking is not just waiting.. ^^

focus with the change process and goals rather than on problems..

Sekolah Bayi vs Sekolah bu

Sejak umur enam bulan bayi sudah harus melakoni rutinitas bernama sekolah.
Lima bayi berusia kurang dari dua tahun, berseragam putih biru, sedang belajar pagi itu. Di dalam ruang kelas berukuran sekitar 4×8 meter bercat warna-warni itu, mereka diajari mengenal berbagai jenis bunga.

Bayi-bayi menggemaskan yang belum bisa bicara itu memperhatikan gerak-gerik guru yang membawa bunga. “Coba lihat ya, ini namanya flower,” ujar Julian Reny, guru di Baby Smile School, Surabaya. Dia lantas menyebut nama-nama bunga tersebut. Guru lain yang mendampinginya menirukan ucapan Julian dengan suara jenaka. Para murid tampak menyimak ucapan para guru.

Orlando, salah seorang murid, tampak menatap dengan ekspresi heran ke arah bunga-bunga tersebut. “Ayo sini Orlando,” panggil Julian. Bayi berusia sekitar 1,5 tahun itu langsung mendatangi Julian.

“Ini aunty kasih hadiah ya,” ujar Julian sambil menyerahkan bunga tulip kepada Orlando. Guru dan para pengasuh yang berada di ruang itu langsung bertepuk tangan. “Thank you aunty,” sahut para pengasuh dan guru hampir bersamaan. Orlando tampak tersenyum senang saat menerima bunga tersebut.

Bukan hanya nama bunga yang diajarkan para guru yang disebut aunty itu. Tetapi, warna dan bentuk bunga juga dikenalkan kepada para siswa. Selanjutnya, siswa diajak membuat bunga dari kertas dengan cara sederhana

Itulah sekilas aktivitas di sekolah bayi.Sekolah ini bukan sembarangan, karena mereka juga memiliki kurikulum. Bahkan, ada yang mengadopsinya dari Amerika Serikat. Seperti di Gymboree Baby School, Surabaya, yang mengutamakan pembelajaran motorik dan musik. Waktu belajarnya 45–60 menit, 2-3 kali per minggu.

Disfungsi Ibu

Apa yang diajarkan sekolah-sekolah bayi tersebut, sejatinya sangat sederhana. Hanya mengenalkan nama-nama benda, warna, angka dan cara berbicara kepada bayi. Betapa miris! Pemberian rangsangan sederhana seperti itu saja, tak mampu lagi dilakukan para ibu masa kini. Merekapun memilih menyerahkan bayinya ke sekolah.

Apakah para ibu ini sedemikian krisis rasa percaya diri untuk mendidik dan mengasuh anaknya sendiri? Sangat ironis dengan kemapanan status sosial dan pendidikan para perempuan masa kini. Semakin banyak perempuan berpendidikan tinggi, namun semakin kehilangan kemampuannya untuk mendidik bayinya sendiri.

Semakin banyak perempuan mandiri secara ekonomi, semakin kehilangan waktu untuk mengenalkan dunia pada buah hatinya sendiri. Ia lebih memilih membayar pihak lain demi rangsangan dasar pada bayinya yang notabene sangat mudah.

Tampak jelas hilangnya fungsi ibu di tangan sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan negara ini. Fungsi ibu telah dikapitalisasi demi profit. Bagaimana tidak, untuk sekadar merangsang saraf sensorik dan motorik para bayi ini, orang tua dikenai tarif Rp 200–400 ribu sebulan. Itu belum biaya pendaftaran mulai Rp 2–5 juta.

Sekolah bayi atau juga penitipan bayi (baby care), telah mengambil-alih tugas kaum ibu hingga mereka semakin abai atas tugasnya. Mereka semakin nyaman meninggalkan buah hatinya untuk aktivitas lain di ranah publik. Bahkan, dengan bangga mereka memamerkan bayinya yang terlihat lebih cerdas dan menggemaskan setelah disekolahkan. Bukannya malah malu, karena kepintaran sang bayi bukan hasil sentuhan tangannya.

Sekolah Ibu

Untuk melahirkan bayi-bayi yang cerdas, memang dibutuhkan rangsangan sejak dini. Rangsangan itu hanya bisa dilakukan secara efektif oleh pengasuh yang paling dekat dengan bayi. Idealnya, tentu ibunya. Karena itu, sejatinya yang dibutuhkan adalah ibu yang cerdas. Ibu yang mampu menjalankan fungsinya mengasuh dan mendidik anak dengan maksimal.

Bayangkan, betapa repotnya jika seluruh ibu di negeri ini rame-rame mengirimkan anaknya ke sekolah karena khawatir anaknya tertinggal kecerdasannya. Betapa berjubelnya sekolah-sekolah bayi dan betapa menggunungnya profit mereka.

Betapa sibuknya ibu-ibu yang memiliki anak, karena sejak bayinya usia enam bulan sudah harus mengantarkannya ke sekolah. Betapa besarnya ongkos ekonomi fenomena ini, padahal sejatinya upaya pencerdasan bayi itu bisa dilakukan dengan gratis.

Kalau mau, yang dibutuhkan adalah sekolah para ibu atau calon ibu, bukan bayinya yang disekolahkan. Sekolah (calon) ibu ini pun tak harus diadakan secara khusus dalam sebuah lembaga. Karena, bisa jadi ini pun akan menjadi ajang untuk mencari profit semata, mengingat di alam kapitalisme saat ini, apa sih yang tak bisa dijadikan uang? Sekarang saja, seminar-seminar parenting mendadak laris manis meski biayanya selangit. Sebuah bukti akan hausnya para orangtua akan ilmu-ilmu kerumah-tanggaan dan pendidikan anak.

Padahal, pembekalan menjadi calon ibu, bisa dibenamkan dalam kurikulum pendidikan yang ada saat ini. Seperti pelajaran keterampilan, gizi keluarga, parenting, dll. Tentu harus berbasis aqidah Islam, dimana anak didik –khususnya perempuan– diberi pemahaman mengenai tugas dan fungsi utamanya kelak saat berumah tangga.

Tidak seperti sekarang, banyak perempuan berpendidikan tinggi, bahkan mencapai gelar doktor atau profesor, tetapi tidak terampil ilmu-ilmu kerumahtanggaan. Kalau toh mau cerdas, kaum ibu ini terpaksa otodidak dari sumber sana-sini yang belum tentu mumpuni. Trial by error, learning by doing. Kaum perempuan tak pernah disiapkan secara khusus menjadi ibu rumah tangga yang tangguh.

Padahal, di sinilah ladang pahala kaum perempuan. Di antara sederet pahala yang disediakan untuk perempuan yang menjalankan fungsinya di rumah adalah sebagai berikut: Rasulullah SAW pernah bersabda: “Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Rasulullah SAW, red) di surga.”

Sabda lainnya: “Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggungjawab, maka baginya adalah surga”.

Daripada Aisyah ra “Barang siapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuannya, lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka.”

Riwayat lain menyebutkan, apabila semalaman ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah SWT memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah SWT.

Betapa Maha Pemurahnya Allah SWT kepada kaum ibu, tanpa repot-repot meninggalkan rumahnya pun, gundukan pahala menanti di sana. Anda juga mau, bukan?

Sumber: http://www.mediaumat.com/muslimah/3713-81-sekolah-bayi-vs-sekolah-ibu-.html

Kunci-Kunci Kebahagiaan

Semoga hal ini menjadi bagian hidup kita 🙂